“Apa itu?”
“Apa saya harus mengatakannya? Itu mungkin agak kasar.”
Elang menunjukkan ekspresi canggung, tampak kebingungan tentang bagaimana ia harus berkata. Namun Lintang hanya mengangguk pelan, seolah mempersilahkannya untuk mengatakan apapun yang ia inginkan.
“Dirgantara, menurut saya dia adalah seseorang yang jika Bapak berharap bahwa Bapak bisa mengandalkan dia, maka seluruh dunia akan menertawakan Bapak. Dengan kata lain, itu pemikiran bodoh,” ujar Elang, wajahnya menunjukkan raut tenang sekalipun kalimatnya terkesan sedikit kasar.
“Jadi begitu pandangan semua orang tentang Dirga?” Lintang bertanya retoris, jari telunjuknya menyentuh dagu seraya kepalanya mengangguk-angguk pelan.
Mengenali ekspresi yang gurunya tunjukkan, Elang justru bertanya, “Bapak tidak sependapat?”
“Saya tidak terlalu yakin sebenarnya. Apa yang kamu katakan memang sesuai fakta yang ada. Tapi, saya tidak… bukan, maksud saya, saya kurang sependapat denganmu.”
Jawaban Lintang membuat Elang menunjukkan sebuah senyum asimetris di bibirnya. “Bapak sepertinya cukup optimis.”
“Maksudnya?”
“Maaf tapi saya tidak bisa memikirkan kalimat yang lebih sopan. Apa mungkin Bapak mempunyai pikiran seperti ‘sampah tetap bisa didaur ulang untuk menghasilkan sesuatu yang bahkan memiliki nilai manfaat yang lebih besar dari sebelumnya’?” Elang berujar dengan senyum yang masih ia perlihatkan.
Lintang ikut tersenyum, “Semacam itu, tapi… sebenarnya lebih sederhana. Bukan ‘sesuatu yang memiliki nilai manfaat lebih besar dari sebelumnya’, tapi cukup sekadar ‘sesuatu yang masih tetap memiliki nilai manfaat’,” sahut Lintang meluruskan.