“Ruang operasi nyaris membuatku jadi penghuni rumah sakit jiwa.” Ia melanjutkan, membuat tawa renyah terdengar dari mulut Dirga.
“Itu berarti masa co-ass-mu berjalan dengan baik. Siswa teladan ini pasti banyak diinginkan ya?” Dirga berujar setelah tawanya berhenti. Mendengarnya, Elang hanya memutar bola matanya, jengah.
“Buang jauh-jauh panggilan itu. Profesorku nyaris menendangku dari ruang operasi karena menyentuh pembuluh darah yang salah.” Elang menggeleng-gelengkan kepala saat mengucapkannya, raut jengkel terlihat jelas di wajahnya. “Itu sangat memalukan hingga membuatku berharap dapat menghilang saat itu juga.”
“Itu hal biasa, kita perlu gagal setidaknya satu kali,” tukas Dirga menanggapi.
Elang tertawa pelan, menatap Dirga seolah takjub, tak menyangka jika kalimat itu bisa keluar dari mulutnya. “Kalimat yang menyentuh. Dirgantara sudah dewasa rupanya.”
Dirga mengangguk-angguk pelan seraya tersenyum tipis, “Oleh karena satu orang.”
Elang membalas senyuman itu, “Benar, oleh karena satu orang.”
Setelah itu, keduanya kembali terdiam, membiarkan keheningan menyelimuti atmosfer menenangkan ini. Elang memilih untuk mengangkat cangkirnya, menyesap coklat panas yang kini mulai mendingin. Pada detik berikutnya, Elang mengalihkan pandangannya ke samping, kembali menatap potret pusat kota di tengah hujan. Dirga mengikuti setelah sama-sama menyesap cokelat panasnya. Keduanya menatap objek yang sama dengan pikiran yang berjalan mundur pada kenangan yang sama, orang yang sama.
-
Salsabila Pragita / XII MIPA 3 / SMA Negeri 1 Padalarang