Suara itu kembali terdengar, Dirga tak lagi sanggup menghadapinya. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga, hendak memutuskan panggilan. Namun ia mengurungkan niatnya itu ketika ibunya kembali bersuara.
“Halo? Dirga?”
Dirga tak bersuara, memilih kembali mendekatkan ponsel pada telinganya. Seraya suara ibunya kembali terdengar, ia berusaha mengendalikan dirinya.
“Dirga, tolong jangan putuskan panggilannya dulu. Mama… ada banyak hal yang ingin Mama sampaikan padamu, Nak.”
Suara itu begitu lembut seperti angin sore yang membelai kulit. Namun tidak peduli selembut apa suara itu, setenang apa nada bicara itu, sulit menarik kesimpulan bahwa si pemilik suara tengah berada pada keadaan baik-baik saja. Segalanya terlalu terbaca, satu bentuk kamuflase yang amatir.
“Bagaimana kabarmu Dirga? Mama sangat merindukanmu. Maafkan Mama karena tidak memiliki keberanian untuk menemuimu. Mama tahu tentang seberapa besar rasa kecewa yang Mama berikan padamu, pasti sangat sulit bagimu memaafkan Mama, Mama memang tak termaafkan. Tapi Dirga, Mama harap kamu tak pernah melupakan bahwa Mama menyayangimu, itu tak pernah berubah. Mama hanya…”
Dirga mengepalkan tangannya kuat-kuat ketika isakan samar terdengar di telinganya.
“Mama hanya terlalu pengecut untuk menghadapi semuanya. Mama terlalu lemah untuk itu hingga tidak sadar bahwa itu hanya melukaimu. Apa kamu… hidup dengan baik? Mama harap begitu, Mama tahu bahwa kamu dapat menghadapi apapun yang terjadi dalam hidupmu. Mama tahu, meskipun kamu sendiri, kamu cukup kuat untuk menghadapi segala kesulitan yang datang. Jadi, hiduplah dengan baik dan berbahagialah. Segala hal menyakitkan yang pernah terjadi, Mama harap kamu dapat melupakannya dan melanjutkan hidupmu. Tolong… jalani hidupmu sebaik mungkin.”
Dirga mengumpulkan keberaniannya, berusaha sekuat mungkin. Dengan suara bergetar, ia mulai bersuara, mengakhiri pembicaraan sepihak yang sejak tadi ibunya lakukan. “Aku… hidup dengan baik.”
Hening berlangsung untuk beberapa saat.
“Syukurlah.”