Bagian Kelima
“Ikan di freezer sudah dibumbui, kamu hanya tinggal menggorengnya sebelum memakannya, semua tumisan sayur ada baris satu, telor balado dan ayam kecap di baris dua, di pintu baris dua dari bawah ada yoghurt buatan kakakmu, dan di bawahnya Mama menyimpan beberapa susu coklat.”
Lintang tersenyum geli mendengar penjelasan panjang lebar yang ibunya sampaikan. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding lift, kemudian memindahkan letak ponsel ke telinga kirinya. “Apa Mama dan Papa baru saja merayakan ulang tahun pernikahan? Mengapa Mama memasak begitu banyak makanan?”
“Ya… seharusnya tahun ini Mama merayakan hari pernikahan putra bungsu Mama yang sangat sulit untuk ditemui.”
Mendengar ucapan ibunya, Lintang hanya memutar bola matanya jengah. Astaga, ini topik yang agak sensitif untuknya. Mengapa ibunya itu tiba-tiba membahasnya? Meski begitu, seulas senyum masih terus berada di wajahnya.
“Tidak ada komentar untuk itu,” ujar Lintang dengan nada datar, namun diiringi tawa ringan setelahnya. “Terima kasih untuk makanannya. Titip salam untuk Papa dan Mbak Laisa.”
“Ya… jaga dirimu baik-baik dan makan dengan teratur. Mengerti?”
“Ya… sangat dimengerti,” Lintang menyahut, kemudian panggilan telepon berakhir. Bersamaan dengan itu, pintu lift terbuka, Lintang melanglah keluar.
Ketika Lintang hendak menekan sandi rumahnya, suara pintu terbuka dari belakang tubuhnya membuat niatnya urung. Ia membalikkan badannya, lantas mendapati sosok Dirga dengan setelan rumahnya. “Oh! Dirga? Apa yang kamu lakukan di luar malam-malam begini?” tanya Lintang.
“Tidak ada, dan ini tidak terlalu malam sehingga saya memang benar-benar harus berada di dalam rumah,” jawab Dirga tak acuh, mengabaikan keramah tamahan yang Lintang tunjukkan seperti biasanya.
“Kapan kamu bisa memperbaiki sikapmu ini?” cibir Lintang pelan, namun tidak sepelan itu karena objek cibiran di hadapannya itu masih dapat mendengar ucapannya.