Pertanyaan Dirga seolah menyadarkan Elang. Ia menjauhkan wajahnya, lantas mengembalikan ekspresinya yang angkuh. “Aku?” tanya Elang seraya menunjuk dirinya sendiri, ia tertawa hambar setelahnya. “Mengapa aku harus?”
Dirga mendengus keras, sudah menduga akan reaksi yang akan Elang berikan. Tanpa berkata apapun lagi, ia kembali fokus pada laptopnya. Untuk sesaat, dua orang sebaya itu membiarkan hening menyelimuti atmosfer yang tercipta.
“Tapi itu tidak buruk juga,” ujar Elang memecah keheningan. “Kamu bisa jadikan itu sebagai pekerjaan.”
Dirga menghentikan gerakan tangannya, kepalanya kembali menoleh, menatap Elang. “Maksudnya?” tanya Dirga bingung.
“Kalau kamu tidak tertarik untuk merencanakan masa depan, jadikan saja ini sebagai ladang uangmu,” jawab Elang. “Setidaknya lakukanlah hal yang berguna.”
“Jadi maksudmu, selama ini… aku hanya melakukan hal-hal yang tak berguna?” Dirga bertanya lagi.
“Apa kamu tidak menyadarinya? Astaga betapa kacaunya kamu ini. Apa kamu pikir itu hal yang berguna?” Elang menunjuk ponsel Dirga yang tergeletak di samping laptopnya. “Lalu itu! Itu! Itu!” Elang berseru seraya menunjuk earphone yang tersambung pada ponsel Dirga, lalu pada sebungkus makanan ringan di atas meja, dan pada beberapa bungkus makanan ringan yang berserakan di lantai.
“Apa kamu tidak tahu seberapa sering kota ini mengalami banjir karena perilaku tidak bertanggung jawab ini?” tanya Elang dengan suara yang agak meninggi. “Perbanyaklah literasi agar pengetahuanmu kaya, lalu hiduplah dengan memperdulikan sekitarmu.”
“’Hiduplah dengan memperdulikan sekitar’, kalimat itu lebih tepat ditujukan untukmu,” cibir Dirga, kemudian melanjutkan pekerjaannya. Diabaikannya raut protes yang Elang tunjukkan.
Tanpa keduanya sadari, seseorang mengawasi interaksi mereka sejak tadi. Satu lengkungan kurva terbentuk di wajah orang itu, menunjukkan senyum lega.
-