Mohon tunggu...
Salsabila Pragita
Salsabila Pragita Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

————

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hydrangea

24 Februari 2021   01:39 Diperbarui: 24 Februari 2021   01:43 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dirgantara Putra selalu menghabiskan waktu di atap gedung sekolah. Entah untuk melanjutkan mimpinya yang belum selesai, memakan berbungkus-bungkus camilan, atau menikmati matahari pagi bersama musik dari groupband yang eksis di tahun 90-an favoritnya. Pertama kali Lintang menemui Dirga, siswa dengan predikat “siswa malas” membuat atap sekolah yang sudah kumuh itu menjadi lebih mengerikan dengan bungkus-bungkus makanan ringan yang berserakan. Saat ia memberikan nasihat, siswa mala situ justru mengabaikannya, menganggap ceramah panjang lebarnya hanya sebagai angin lalu.

Kesan pertamanya terhadap Dirga membuat Lintang benar-benar mengubah seluruh pandangannya. Saat itu untuk pertama kalinya, ia memperdulikan muridnya, lebih dari ia memperdulikan dirinya sendiri. Dirga yang memiliki pandangan dangkal tentang kehidupan, yang tak memikirkan apapun selain kesenangan sesaatnya, yang tak peduli pada apa yang akan ia lakukan di masa depan, Lintang ingin membantunya mengubah seluruh pandangan itu. Entah untuk alasan apa, ia merasa menjadi orang yang paling bertanggung jawab untuk melakukan itu karena orang yang seharusnya justru memilih lepas tangan. Semua niatnya didukung dengan takdir yang membuat mereka harus hidup bertetangga.

Dirga dengan kehidupannya yang tak terarah sepertinya tidak cukup untuk menyentuh sisi simpati pada diri Lintang. Satu siswa yang selalu menjadi kebanggaan guru, siswa dengan nilai-nilai yang mengagumkan di semua mata pelajaran, siswa yang namanya nyaris selalu berada di peringkat pertama, siswa yang nyaris tak memiliki kekurangan pada dirinya, dan siswa itu bernama Elang Maharendra. Kesan pertama Lintang terhadap siswa teladan itu sama seperti guru-guru lainnya. Siswa teladan yang tak akan membua kepalanya sakit, baik karena tingkah lakunya, maupun nilai-nilainya.

Namun perlahan, ia melihat sesuatu yang lain dari diri Elang. Elang yang terlampau perfeksionis, individualis, dan kadang terkesan oportunis. Tidak peduli dijelaskan tentang betapa kompetitif dirinya itu. Lintang menilai Elang sebagai pribadi yang melakukan segala hal berdasarkan kehendaknya sendiri, ia nyaris tak pernah mendengarkan pandangan orang lain. Elang hanya menganggap rekan satu kelompoknya sebagai patung yang tak bisa berbicara. Predikat Elang sebagai siswa jenius serba bisa membuat siapapun tak bisa menentang sikapnya itu. Mengingat hal itu membuatnya kembali teringat pada pembicaraannya dengan Elang beberapa hari yang lalu.

“Elang saya meminta satu hal lagi padamu.”

“Apa itu?”

“Saat kalian mengerjakan tugas bersama, saya harap kamu bisa menanyai pendapatnya, dengarkan dan hargai itu. Jika pendapatnya bertentangan denganmu, kamu harus memberikan pengertian padanya baik-baik. Bisa kamu melakukannya?”

Saat itu Elang terdiam sebentar, nampak menimang-nimang sebelum memberikan jawaban.

“Akan saya usahakan.”

Pada awalnya, Lintang menganggap bahwa permasalahan Elang dapat diselesaikan dengan beberapa konsultasi dengannya. Namun ia justru mendapati bahwa apa yang terjadi Elang, sangat jauh dari apa yang ia perkirakan. Saat ia mendapati tatapan penuh amarah dari mata Elang setiap kali nilai ulangannya berada satu poin saja di bawah teman sekelasnya. Saat ia mendapati Elang yang entah sadar atau tidak tengah menggenggam erat-erat bolpoinnya hingga patah setiap kali peringkat paralelnya turun. Elang dengan sifat kompetitifnya yang berlebihan menyadarkannya bahwa ada yang salah dengan muridnya itu.

Satu waktu pernah Lintang mendapati Elang berdiri sendirian di belakang sekolah. Betapa terkejutnya ia ketika Elang tanpa perasaan memukul tembok bata dengan tinjunya keras-keras. Ia bahkan melihat darah mengucur dari jari-jari muridnya itu, namun Elang hanya menatap dingin, lurus ke depan, seolah luka itu bukan apa-apa baginya. Saat ia mencari tahu, alasannya hanyalah sesedarhana Elang yang melupakan sebagian materi presentasinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun