Mohon tunggu...
Salsabila Pragita
Salsabila Pragita Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

————

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hydrangea

24 Februari 2021   01:39 Diperbarui: 24 Februari 2021   01:43 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Prolog

Aroma petrichor yang khas menguar dari tanah-tanah yang basah, terasa begitu menenangkan. Ketika hidungnya mencium aroma itu, perlahan matanya terbuka. Dengan gerakan malas, ia meregangkan tubuhnya, lantas menatap sekitar melalui kaca depan mobilnya. Hujan telah berhenti rupanya. Awan mendung yang satu jam lalu menutupi keberadaan mentari kini mulai bergerak berlainan arah. Langit kembali cerah. Ia menutup kaca jendela mobil yang sedikit terbuka.

Ketika kepalanya menoleh, iris legamnya tertuju pada sebuket bunga yang tergeletak di kursi pengemudi. Hydrangea, bunga mungil nan cantik yang sarat akan makna. Menurut legenda Jepang, bunga yang mekar dengan formasi unik ini mewakili rasa terima kasih yang besar dan penyesalan mendalam. Seseorang pernah memberitahukannya perihal tersebut. Seseorang yang sayangnya kini, tak lagi berada pada dimensi yang sama dengannya. Dengan gerakan pelan, tangannya meraih buket bunga itu, merengkuhnya dengan lembut seperti memeluk bayi. Keluar dari mobil, kakinya melangkah memasuki area pemakaman yang sepi.

Setelah berjalan kurang lebih sejauh 20 meter, langkahnya terhenti di hadapan satu gundukan tanah yang tertutup rumput. Buket bunga di tangannya itu ia letakkan hingga bersandar pada nisan. Sejenak, dipandanginya nama yang tertulis pada nisan hitam itu, seolah dengan cara itu, ia merasa seperti berpandangan langsung dengan sang pemilik nama.

“Ini… sudah lima tahun. Di sana... apa semuanya baik?” Ia bertanya tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya. “Kami hidup dengan sangat baik. Jadi, jangan khawatir tentang apapun, dan beristirahatlah dengan tenang.”

Setelah mengatakannya, ia menundukkan kepala, memejamkan mata. Hatinya memanjatkan segala doa. Ketika orang dalam doanya itu masih menempati dimensi yang sama dengannya, ia tak memiliki banyak waktu untuk mengucapkan segala rasa terima kasihnya. Ia berharap bahwa segala hal yang tak mampu ia ungkapkan, dapat tersampaikan melalui doanya. Ia memercayai segala kebaikan Tuhan.

Sesaat kemudian matanya terbuka, lantas bibirnya menyugingkan senyuman tipis yang lembut. “Ini akan menjadi kalimat yang tak pernah bosan diucapkan. Terima kasih banyak, untuk segalanya,” gumamnya lirih, dengan cepat suaranya berbaur dengan angin yang berhembus.
Ketika tubuhnya berbalik, ia mendapati keberadaan seseorang tak jauh dari tempatnya berdiri. Kala dua pasang netra itu saling menatap, keduanya saling melempar senyum akrab.

-

Bagian Pertama

Tahun 2013, di akhir bulan Januari…

Matahari mulai meninggi, udara semakin panas. Pendingin ruangan yang hampir diatur hingga mencapai suhu minimum pun tidak lagi berfungsi banyak. Lintang, satu-satunya pria yang berdiri di depan ruang kelas mati-matian menahan diri untuk tidak mengumpati cuaca yang menyebalkan ini, berusaha mempertahankan martabatnya sebagai seorang guru.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun