REFLEKSI IBADAH MINGGU: BERKACA DARI MASA LALU, BERHARGA UNTUK MASA DEPAN
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Bulan Pendidikan kembali menyapa umat GMIT sebagai momen penting untuk berhenti sejenak, melihat ke belakang, dan menata langkah ke depan dalam dunia pendidikan. Ini bukan sekadar agenda tahunan, melainkan undangan rohani bagi seluruh warga gereja untuk merefleksikan peran dan tanggung jawabnya dalam membangun generasi yang cerdas, beriman, dan berkarakter.
Di tengah tantangan zaman yang terus berubah, pendidikan pada sekolah-sekolah di wilayah pelayanan GMIT tidak hanya berbicara tentang kecakapan akademik, tetapi juga tentang pewarisan nilai-nilai iman, kasih, dan keadilan. Bulan Pendidikan menjadi kesempatan emas untuk mengevaluasi sejauh mana gereja telah hadir, terlibat, dan menjadi terang dalam dunia pendidikan, serta merumuskan kembali komitmen bersama demi menciptakan ekosistem pendidikan yang bermutu dan membebaskan, sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan.
Dalam terang itulah, Mazmur 78:1--16 hadir sebagai sebuah undangan untuk mengingat kembali karya Allah dalam sejarah, bukan semata sebagai nostalgia, tetapi sebagai fondasi iman yang kokoh. Pemazmur membuka renungannya dengan seruan yang menggugah hati: "Hai umatku, berilah telinga kepada pengajaranku, pasanglah telingamu kepada ucapan mulutku." (ay.1). Ini adalah ajakan yang kuat, bukan hanya untuk mendengar secara lahiriah, tetapi untuk membuka hati agar kebenaran Tuhan masuk dan membentuk cara pandang kita terhadap kehidupan, sejarah, dan masa depan. Pemazmur mengingatkan bahwa sejarah iman bukan sekadar kumpulan cerita masa lampau, tetapi kesaksian hidup yang memuat kebijaksanaan, peringatan, dan pengharapan.
Terdapat dua sisi perjalanan umat Israel dalam konteks bacaan ini: saat mereka hidup setia kepada Allah dan saat mereka jatuh dalam ketidaktaatan. Ayat 5--8 menunjukkan bahwa Tuhan telah menetapkan hukum dan peringatan agar generasi demi generasi mengenal-Nya, menaruh harap kepada-Nya, dan tidak melupakan perbuatan-perbuatan-Nya yang besar. Namun kenyataannya, umat sering kali berpaling, bersikap tegar hati, dan mengulangi kesalahan yang sama seperti nenek moyang mereka.
Dari sini, kita belajar bahwa iman tidak cukup diwariskan lewat kata-kata, tetapi harus dihidupi dan diteladankan. Masa lalu menjadi cermin untuk melihat betapa mudahnya manusia melupakan Tuhan ketika hidup nyaman, dan betapa pentingnya menjaga hati agar tetap setia. Kesetiaan dan kejatuhan umat menjadi pelajaran berharga bagi kita hari ini: agar tidak hanya mengingat Tuhan saat terdesak, tetapi menjadikan-Nya pusat dari setiap langkah kehidupan.
Sering kali umat gagal menunjukkan kesetiaan, tetapi Tuhan tetap menyatakan kasih dan kuasa-Nya dengan luar biasa. Allah terus membimbing umat Israel melewati berbagai tantangan, membelah laut, memimpin dengan tiang awan, memberi air dari gunung batu dan semuanya adalah bukti nyata penyertaan-Nya yang setia. Tindakan Allah ini bukan karena umat layak, tetapi karena kasih-Nya yang tidak berubah.