AKSI VANDALISME MENGGERUS RUANG PUBLIK, SENI ATAU KEJAHATAN SOSIAL?
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Vandalisme semakin marak terlihat di berbagai sudut ruang publik, dari tembok jalanan, halte bus, hingga fasilitas sekolah dan taman kota. Coretan liar, perusakan bangku, hingga penghancuran fasilitas umum menjadi pemandangan yang tak asing lagi, terutama di wilayah perkotaan. Bagi sebagian orang, aksi ini dianggap sebagai bentuk seni jalanan atau ekspresi kebebasan. Namun, tak sedikit pula yang memandangnya sebagai tindakan merusak dan mencerminkan krisis kesadaran sosial. Ketika ruang bersama yang seharusnya menjadi tempat nyaman dan aman bagi semua justru dirusak, muncul pertanyaan besar: apakah vandalisme adalah bentuk seni yang patut dihargai, atau justru kejahatan sosial yang harus ditindak?
Penting menghargai ruang publik bukan sekadar lokasi fisik yang dapat diakses oleh siapa saja, melainkan cerminan peradaban dan kualitas hidup masyarakat di sekitarnya. Taman kota, trotoar, halte, jembatan penyeberangan, dan fasilitas umum lainnya adalah aset bersama yang dirancang untuk menunjang kehidupan sosial, memberikan ruang rekreasi, serta membangun interaksi antarwarga. Keberadaan ruang publik menciptakan kesempatan yang sama bagi semua kalangan tanpa memandang latar belakang ekonomi, sosial, maupun budaya.
Sayangnya, banyak orang belum menyadari nilai penting dari ruang-ruang ini, sehingga masih sering dijumpai perilaku merusak seperti vandalisme. Ketika fasilitas umum dicoret, dirusak, atau bahkan dihancurkan, bukan hanya estetika kota yang terganggu, tetapi juga kenyamanan dan hak masyarakat lain untuk menikmati ruang tersebut. Perlu dipahami bahwa setiap bentuk kerusakan pada ruang publik bukanlah sekadar tindakan personal, melainkan pelanggaran terhadap hak kolektif.
Oleh karena itu, perlu membangun kesadaran bahwa ruang publik adalah milik bersama menjadi kunci untuk menciptakan kota yang lebih tertib, aman, dan berbudaya. Tanpa rasa memiliki dan tanggung jawab bersama, ruang publik akan terus menjadi korban dari sikap egoisme segelintir orang yang tidak menjaga keindahan fasilitas umum yang tersedia.
Perdebatan tentang vandalisme sering kali bergulir pada satu titik tarik-menarik antara ekspresi seni dan tindakan kriminal. Sebagian pelaku, terutama anak muda, mengklaim bahwa coretan-coretan di dinding adalah bentuk ekspresi diri, pemberontakan kreatif terhadap norma yang kaku, atau bahkan bentuk kritik sosial terhadap ketimpangan yang mereka rasakan.
Grafiti, dalam konteks ini, dipandang sebagai bagian dari seni jalanan (street art) yang punya nilai estetika dan pesan simbolik. Namun, ketika aksi itu dilakukan di tempat yang tidak semestinya seperti tembok rumah ibadah, fasilitas umum, halte, atau monumen sejarah, maka batas antara seni dan pelanggaran hukum menjadi sangat jelas. Seni sejati seharusnya lahir dalam ruang yang etis dan disambut oleh publik, bukan justru merusak ruang bersama yang dibiayai oleh uang rakyat dan ditujukan untuk kepentingan umum.
Vandalisme yang dilakukan tanpa izin bukan hanya merusak secara visual, tetapi juga menimbulkan kerugian material dan mengikis rasa aman masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk membedakan mana yang merupakan seni yang membawa nilai, dan mana yang sekadar pelampiasan ego atas nama kebebasan berekspresi. Seni tidak bisa dijadikan tameng untuk tindakan yang merampas hak orang lain atas lingkungan yang bersih, indah, dan tertib.