SIAPA BERTANGGUNG JAWAB? DILEMA DANA, REGULASI, DAN PRIORITAS PERBAIKAN JALAN RUSAK
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Jalan merupakan infrastruktur vital yang menunjang mobilitas masyarakat, roda ekonomi, serta akses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Namun, di berbagai wilayah Indonesia, kondisi jalan yang rusak parah justru menjadi pemandangan sehari-hari. Dari jalan berlubang yang mengancam keselamatan hingga akses putus yang mengisolasi desa, persoalan ini menimbulkan keresahan publik. Tidak jarang masyarakat turun tangan memperbaiki jalan secara swadaya karena merasa diabaikan.
Di tengah situasi ini, muncul pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas kerusakan jalan? Di balik persoalan ini tersembunyi kerumitan regulasi kewenangan, keterbatasan dana, dan tarik ulur prioritas pembangunan yang kerap kali menjadikan masalah jalan rusak terus berulang dari tahun ke tahun tanpa solusi yang tuntas. Salah satu akar persoalan dalam penanganan jalan rusak terletak pada tumpang tindih regulasi dan pembagian kewenangan antar level pemerintahan.
Namun, dalam praktiknya, sering kali ditemui ketidakjelasan batas status jalan yang menimbulkan kebingungan, bahkan saling lempar tanggung jawab antar instansi. Tidak jarang ditemukan jalan yang secara teknis berstatus kabupaten namun berada di wilayah strategis nasional, atau sebaliknya. Ketidaksinkronan data, minimnya koordinasi, serta lemahnya pengawasan menjadikan banyak jalan rusak tak kunjung disentuh perbaikan, karena tidak ada pihak yang benar-benar merasa wajib untuk menanganinya.
Di samping persoalan regulasi, keterbatasan anggaran juga menjadi kendala utama dalam perbaikan jalan rusak. Banyak pemerintah daerah yang menghadapi realitas fiskal sempit, di mana alokasi dana harus dibagi untuk berbagai kebutuhan mendesak lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, dan penanganan bencana. Kondisi ini diperparah dengan ketergantungan pada dana transfer dari pemerintah pusat yang kadang terlambat cair atau tidak sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan.
Akibatnya, jalan yang rusak sering kali tidak menjadi prioritas, terutama jika lokasinya jauh dari pusat kota atau tidak masuk dalam agenda strategis politik daerah. Di sisi lain, tidak jarang proyek pembangunan jalan baru lebih diprioritaskan karena dianggap lebih "menguntungkan" secara politis dibanding pemeliharaan jalan yang sudah ada. Akumulasi kondisi ini menciptakan dilema antara kebutuhan mendesak rakyat dan orientasi kebijakan yang sering kali tidak berpihak pada pelayanan dasar.
Aksi-aksi ini bukan sekadar bentuk kekesalan, tetapi juga menjadi cara warga untuk menarik perhatian dan mendesak pemerintah agar segera turun tangan. Ketika suara rakyat tak didengar, mereka menyampaikan pesan melalui tindakan yang terkadang ekstrem untuk menggugah publik dan pihak berwenang. Ini menjadi peringatan bahwa ketidakseriusan dalam menangani infrastruktur dasar dapat berujung pada krisis kepercayaan terhadap pemerintah.