Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Publik Resah atau Elit Resah? Menyaring Narasi di Tengah Derasnya Framing

21 Mei 2025   04:29 Diperbarui: 21 Mei 2025   04:29 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inout gambar: kibrispdr.org

PUBLIK RESAH ATAU ELIT RESAH? MENYARING NARASI DI TENGAH DERASNYA FRAMING

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Input gambar: blogspot.com
Input gambar: blogspot.com
Ketika seorang tokoh publik hadir dalam berbagai kegiatan pemerintahan di tingkat lokal, reaksi yang muncul tidak selalu seragam. Ada yang memandangnya sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab moral, namun ada pula yang menilai kehadiran tersebut sebagai intervensi yang tak semestinya. Di tengah dinamika ini, muncul suara-suara yang mengklaim keresahan publik. Di era media sosial dan opini cepat saji, framing bisa lebih cepat menyebar daripada kebenaran. Karena itu, menyaring narasi menjadi keharusan agar kita tidak terjebak dalam persepsi yang dibentuk, melainkan berpijak pada kenyataan yang sebenarnya.

Dalam dinamika sosial-politik daerah, kehadiran seorang figur publik sering kali menjadi titik sentral serta terjadi tarik-menarik kepentingan. Sosok yang aktif, dikenal masyarakat, dan terlibat langsung dalam proses pembangunan kerap kali justru menjadi sasaran framing negatif yang sistematis. Narasi dibangun, opini disebar, dan persepsi diarahkan untuk menciptakan citra tertentu yang bukan berdasarkan realitas yang objektif, melainkan berdasarkan asumsi, prasangka, bahkan agenda tersembunyi.

Figur publik, dalam posisi ini, tidak hanya berhadapan dengan tantangan kerja nyata di lapangan, tetapi juga dengan serangan simbolik yang menyasar reputasi dan legitimasi. Ironisnya, narasi keresahan masyarakat sering kali dijadikan tameng, padahal yang merasa terusik bisa jadi bukanlah warga biasa, melainkan kelompok elit atau aktor-aktor tertentu yang melihat figur tersebut sebagai ancaman terhadap status quo.

Badai framing tidak hanya berpotensi melemahkan kepercayaan publik terhadap tokoh tersebut, tetapi juga bisa menghambat kolaborasi dan soliditas dalam pembangunan. Maka penting untuk bertanya dengan jernih: siapa yang sebenarnya terganggu, dan siapa yang diuntungkan dari badai narasi ini?

Dalam percakapan publik yang kian bising, garis antara fakta dan framing makin kabur. Framing bekerja bukan untuk menyampaikan apa yang terjadi, tetapi untuk menggiring cara orang memandang suatu peristiwa. Ketika sebuah narasi disusun secara berulang, dengan pola, bahasa, dan sudut pandang tertentu, bisa membentuk opini publik meskipun faktanya berbeda. Di balik narasi keresahan masyarakat, sering tersembunyi aktor-aktor yang menyusun wacana demi kepentingan tertentu. Pertanyaannya: siapa mereka? Apakah benar suara masyarakat yang diwakili, atau justru suara elit yang tak nyaman dengan keberadaan figur tertentu?

Fakta bahwa seseorang hadir berdasarkan undangan resmi atau berdasarkan tanggung jawab jabatan seringkali diabaikan dalam framing yang menuduh adanya dominasi, intervensi, bahkan sabotase. Lebih jauh lagi, framing juga kerap menyisipkan motif politis tersembunyi, seperti upaya pembunuhan karakter, penggembosan kekuatan pengaruh, hingga skenario pecah belah antarpimpinan daerah. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat harus waspada dan kritis, tidak hanya terhadap konten narasi, tetapi juga terhadap siapa yang menyusunnya dan apa motif di baliknya.

Sering kali suara rakyat tidak terdengar lantang di ruang publik, tetapi bukan berarti mereka tidak merasakan dampaknya. Rakyat tidak selalu ikut dalam polemik elite atau menyusun narasi di media, namun mereka menjadi penonton sekaligus sasaran dari setiap dinamika yang terjadi. Ketika konflik elit menyeruak, masyarakat akar rumput hanya berharap agar stabilitas sosial tetap terjaga dan pembangunan tidak terganggu. Mereka merasakan kegelisahan bukan karena kehadiran satu tokoh, melainkan karena atmosfer yang mulai tercemar oleh isu dan provokasi. Dalam diamnya, rakyat sebenarnya membaca situasi dengan kepekaan yang tajam, menilai siapa yang sungguh bekerja, dan siapa yang hanya ribut di permukaan. Sebab bagi mereka, bukti lebih penting daripada bunyi.

Dalam menghadapi perbedaan pandangan dan silang narasi di tengah masyarakat, penting untuk menemukan jalan tengah yang berlandaskan pada kebijaksanaan, bukan emosi. Masyarakat dan para pemangku kepentingan perlu keluar dari perangkap dikotomi: pro atau kontra, pendukung atau penentang, hitam atau putih. Situasi sosial-politik yang kompleks memerlukan cara pandang yang jernih, inklusif, dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan.

Di tengah derasnya framing dan tudingan yang belum tentu berdasar, bijak membaca situasi berarti bertanya lebih dalam: apakah ini murni keresahan rakyat, atau hanya drama elite yang menjual keresahan demi kepentingan sempit? Jalan tengah mengajak semua pihak untuk kembali pada semangat kolaborasi, bukan kompetisi destruktif. Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga harmoni sosial, tetapi juga memberi ruang bagi pembangunan yang lebih berkeadaban karena kebenaran tidak lahir dari suara yang paling keras, melainkan dari kebijaksanaan yang paling jujur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun