DIKOTOMI MORALITAS VS VIRALITAS: APAKAH TIKTOK MENGGERUS TAKTIK MENDIDIK NILAI?
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Moralitas vs Viralitas
Dikotomi antara moralitas dan viralitas dalam dunia pendidikan mencerminkan ketegangan antara nilai-nilai luhur yang ingin ditanamkan oleh pendidik dan budaya populer yang digemari siswa di era digital. Moralitas menekankan pembentukan karakter melalui proses yang reflektif dan berkelanjutan, sementara viralitas cenderung mengejar respons cepat dan popularitas sesaat. Ketika keduanya tidak dikelola dengan bijak, pendidikan bisa kehilangan arah: siswa lebih tertarik menjadi viral daripada menjadi baik. Oleh karena itu, penting bagi pendidik untuk memahami bahwa keduanya tidak harus saling meniadakan, tetapi bisa dipadukan secara kreatif agar nilai tetap hidup di tengah budaya digital yang terus berkembang.
Kegandrungan TikTok telah menjelma menjadi salah satu platform digital paling digemari oleh generasi muda, termasuk pelajar karena menawarkan video singkat yang menarik dan mudah viral. Kehadiran TikTok mulai membentuk cara berpikir, bersikap, dan menilai sesuatu dalam kehidupan sehari-hari. Dengan durasi video singkat yang menarik dan fitur algoritma yang mendorong konten viral, TikTok telah menjadi sarana hiburan yang menarik.
Dalam konteks pendidikan, kehadiran TikTok menimbulkan dilema baru: di satu sisi, platform ini menyuguhkan peluang kreatif yang dapat dimanfaatkan guru; namun di sisi lain, arus viralitas yang lebih mengutamakan sensasi kerap kali berseberangan dengan misi pendidikan nilai yang menekankan refleksi, empati, dan integritas. Maka muncullah pertanyaan penting: apakah tren viral yang mendominasi TikTok saat ini justru menggerus taktik-taktik mendidik nilai yang selama ini diperjuangkan di ruang kelas?
Fenomena Viralitas dalam Dunia Pendidikan
Menurut Mudirah Arief, seorang pendidik dan pakar pendidikan di Indonesia, fenomena viralitas di media sosial, seperti TikTok, membawa dampak besar pada pola pikir dan perilaku siswa. Beliau menekankan bahwa meskipun teknologi dapat menjadi alat yang efektif dalam pendidikan, ada risiko nilai moral yang terabaikan karena konten viral yang lebih mengutamakan sensasi daripada kedalaman pemahaman. Pendidikan di Indonesia harus mampu menciptakan keseimbangan antara memperkenalkan teknologi kepada siswa dan memastikan bahwa nilai-nilai moral tetap menjadi fondasi dalam proses belajar mereka. Dengan pendekatan yang bijaksana, teknologi dan moralitas bisa berjalan berdampingan, membentuk generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter.
Fenomena viralitas di era digital saat ini, khususnya melalui platform seperti TikTok, telah mengubah lanskap kehidupan sosial pelajar dan cara mereka memaknai popularitas, pengaruh, serta nilai. Dengan hanya bermodalkan kamera ponsel dan kreativitas singkat, siapa pun kini bisa menjadi "bintang" dalam hitungan detik. Konten-konten seperti tantangan (challenges), tarian (dance trends), prank, hingga gaya hidup konsumtif dengan cepat menyebar dan menembus batas ruang kelas. Banyak siswa lebih hafal koreografi TikTok ketimbang sila-sila Pancasila, lebih terobsesi pada jumlah likes dan followers ketimbang nilai rapor atau perilaku baik di sekolah.
Situasi ini memunculkan kekhawatiran bahwa pola pikir instan dan haus pengakuan dapat mengaburkan nilai-nilai pendidikan yang seharusnya membentuk karakter jujur, disiplin, dan bertanggung jawab. Bahkan, beberapa konten viral justru meromantisasi kenakalan atau menyebarkan perilaku tidak etis yang kemudian ditiru secara masif tanpa refleksi. Di tengah dominasi budaya viral ini, guru dan tenaga pendidik pun dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana melawan arus viralitas negatif tanpa menjadi antiteknologi, dan bagaimana meramu kembali strategi atau taktik pengajaran yang mampu bersaing dengan daya tarik TikTok di mata siswa?
Taktik Mendidik Nilai: Antara Upaya dan Tantangan