IBADAH BULAN BUDAYA: MENELADANI YESUS MEMBARUI PRAKTIK BUDAYA TIDAK ADIL
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Bulan Budaya GMIT menjadi momen penting bagi gereja untuk merenungkan relasi iman dengan budaya yang hidup di tengah masyarakat. Dalam Yohanes 20:11--18, kita membaca kisah menyentuh tentang Maria Magdalena yang menangis di kubur Yesus. Maria, seorang perempuan yang dalam budaya Yahudi saat itu dipandang rendah, justru dipilih Yesus untuk menerima kabar pertama tentang kebangkitan-Nya. Perjumpaan Maria dengan Yesus bukan sekadar momen pribadi, tetapi juga tindakan Yesus yang membongkar praktik budaya yang tidak adil, terutama terhadap perempuan. Dalam ibadah bulan budaya ini, gereja diajak meneladani Yesus dengan menjadi pembawa kabar baik sekaligus agen pembaruan bagi budaya yang masih memelihara ketidakadilan.
Kisah Yesus dan Maria Magdalena merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dan kaya makna dalam Perjanjian Baru, terutama jika dilihat dari kacamata pembaruan budaya. Maria Magdalena hadir di kubur Yesus dalam keadaan sedih dan bingung, mencari Sang Guru yang telah wafat, namun justru dialah yang pertama kali mengalami perjumpaan dengan Yesus yang bangkit. Dalam budaya Yahudi saat itu, perempuan kerap dipandang sebelah mata, tidak diakui sebagai saksi yang sah di pengadilan, bahkan sering dikucilkan dari ruang-ruang penting kehidupan keagamaan dan sosial.
Namun, Yesus justru melibatkan Maria dalam momen terpenting sejarah iman: pengumuman kebangkitan. Dengan memanggil nama Maria secara pribadi, Yesus memulihkan harga dirinya, mengangkat perannya, dan memercayakan kepadanya tugas penting untuk membawa kabar sukacita kepada para murid. Ini bukan sekadar peristiwa rohani, tetapi juga tindakan sosial yang mematahkan rantai budaya yang tidak adil. Yesus mengajarkan bahwa dalam Kerajaan Allah, perempuan dan laki-laki sama-sama dihargai, sama-sama dipercaya untuk mengemban misi kasih, dan bahwa kesetaraan bukan sekadar slogan, tetapi wujud nyata dari iman yang hidup.
Dalam konteks kita hari ini, perjumpaan Yesus dengan Maria mengingatkan gereja untuk berani melampaui batasan-batasan budaya yang menindas: memberikan ruang bagi suara yang selama ini dibungkam, memperjuangkan keadilan bagi mereka yang dimarjinalkan, dan memastikan bahwa kasih Kristus sungguh hadir dalam tindakan nyata, bukan hanya dalam perkataan.
Dalam bacaan Yohanes 20:11--18, kita melihat dengan jelas bagaimana Yesus membarui praktik budaya yang tidak adil melalui perjumpaan-Nya dengan Maria Magdalena. Pada zaman itu, perempuan kerap dianggap sebagai warga kelas dua, tidak dihitung sebagai saksi sah, dan sering kali dipinggirkan dalam urusan agama maupun sosial. Namun Yesus secara radikal mematahkan batasan itu dengan menampakkan diri pertama kali kepada Maria setelah kebangkitan-Nya. Ia bukan hanya menyapa Maria secara pribadi, tetapi juga mempercayakan kepadanya tugas penting: menyampaikan kabar sukacita kebangkitan kepada para murid.
Tindakan ini sangat revolusioner karena Yesus tidak memilih Petrus atau Yohanes, yang secara budaya lebih diakui sebagai pemimpin, melainkan seorang perempuan yang dulunya dikenal sebagai pengikut yang pernah disembuhkan-Nya. Dengan ini, Yesus memperlihatkan bahwa dalam Kerajaan Allah, martabat manusia tidak ditentukan oleh gender, status sosial, atau masa lalu, tetapi oleh kasih dan anugerah Allah sendiri. Peristiwa ini mengandung pesan penting bahwa iman sejati harus berani mengoreksi dan memperbarui budaya yang melanggengkan ketidakadilan.
Gereja dan umat percaya dipanggil untuk meneladani Yesus dengan tidak hanya menerima budaya begitu saja, tetapi mengkritisinya, memperbaikinya, dan menghidupi nilai-nilai kasih, kesetaraan, dan keadilan yang memuliakan Allah. Pembaruan budaya bukanlah upaya untuk melawan tradisi semata, tetapi untuk mengembalikan budaya pada tujuan mulianya: mencerminkan kasih dan keadilan Allah bagi semua orang, tanpa terkecuali.
Dari kisah Yesus dan Maria Magdalena membawa pesan penting bagi gereja dan masyarakat saat ini. Gereja dipanggil untuk meneladani keberanian Yesus dalam membarui praktik budaya yang tidak adil, terutama yang masih meminggirkan perempuan, kaum lemah, dan kelompok yang suaranya sering diabaikan. Di tengah masyarakat yang masih kerap diwarnai diskriminasi, ketimpangan, dan kekerasan simbolik, gereja harus menjadi ruang yang memuliakan martabat setiap manusia.
Melalui Bulan Budaya GMIT menjadi momen refleksi untuk memperkuat komitmen melawan ketidakadilan, memperjuangkan kesetaraan, serta memelihara budaya kasih yang inklusif dan membangun. Dengan demikian, gereja tidak hanya hadir sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai agen transformasi yang membawa harapan dan perubahan nyata bagi lingkungan sekitarnya.