Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buruh di Tengah Badai Fiskal

1 Mei 2025   05:21 Diperbarui: 1 Mei 2025   05:21 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: kompasiana.com

BURUH DI TENGAH BADAI FISKAL

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh (May Day) sebagai momentum refleksi atas perjuangan kelas pekerja dalam memperjuangkan hak dan keadilan. Di Indonesia, peringatan ini tak hanya dirayakan dengan orasi dan unjuk rasa, tetapi juga menjadi panggung aspirasi bagi para buruh untuk menyuarakan keresahan kolektif mereka. Namun, May Day tahun ini hadir dalam suasana yang berbeda, di tengah tekanan efisiensi anggaran negara yang memunculkan konsekuensi serius bagi dunia kerja.

Peringatan May Day tahun ini, bukannya mendapat penguatan atas perlindungan sosial dan kepastian kerja, justru buruh dihadapkan pada realitas yang makin getir: pemangkasan insentif, kontrak kerja yang tidak diperpanjang, hingga ancaman pemutusan hubungan kerja atas nama rasionalisasi belanja. Alih-alih menjadi simbol pengakuan atas jasa para pekerja, May Day 2025 menjadi cermin ketimpangan antara kebijakan fiskal dan kesejahteraan nyata para buruh di lapangan.

Input gambar: detik.com
Input gambar: detik.com
Pada tahun 2025, peringatan Hari Buruh mengangkat kembali isu-isu utama yang tak pernah usang: perlindungan hak-hak pekerja, pentingnya pekerjaan yang layak, serta solidaritas global antarburuh. Di tengah dinamika ekonomi yang terus berubah, kita harus memastikan bahwa setiap pekerja, di mana pun mereka berada, memperoleh hak terhadap keamanan, kesejahteraan, dan pengakuan atas kontribusi mereka. Solidaritas antarburuh, baik di tingkat lokal maupun internasional, menjadi kekuatan penting dalam memperjuangkan keadilan sosial dan memastikan bahwa pekerjaan yang layak bukan hanya mimpi, tetapi kenyataan yang harus dicapai bersama.

Ketika negara mulai menyesuaikan diri menghadapi tekanan fiskal yang kian pelik, gelombang efisiensi anggaran pun tak terhindarkan. Pemangkasan belanja rutin, rasionalisasi proyek, hingga penundaan rekrutmen menjadi langkah-langkah yang banyak diambil pemerintah dalam merespons kondisi anggaran yang semakin ketat. Namun di balik angka-angka dan keputusan itu, ada satu kelompok yang selalu menjadi pihak paling rentan yakni para buruh. Mereka yang selama ini menopang kehidupan ekonomi bangsa dengan keringat dan ketekunan, kini harus berdiri di tengah pusaran badai kebijakan efisiensi anggaran. Efisiensi anggaran yang digadang sebagai upaya penyelamatan fiskal justru berpotensi menambah luka sosial baru ketika hak-hak buruh dipangkas, status kerja dikaburkan, dan rasa aman dalam bekerja menguap perlahan. Dalam situasi seperti ini, pertanyaannya bukan hanya soal seberapa efektif negara menata ulang anggaran, tetapi juga seberapa adil keputusan itu bagi jutaan buruh yang terus berjuang menjaga nyala api dapur mereka setiap hari.

Input gambar: detik.com
Input gambar: detik.com
Kondisi buruh menghadapi gelombang efisiensi anggaran kini mulai menyentuh sektor-sektor vital yang menyerap banyak tenaga kerja. Di berbagai daerah, banyak buruh kontrak yang tidak diperpanjang masa kerjanya, sementara buruh harian lepas harus rela menerima upah yang semakin kecil dengan beban kerja yang sama bahkan lebih berat. Di sektor pemerintahan, para tenaga honorer dan pegawai non-ASN menghadapi ketidakpastian status karena rekrutmen pegawai tetap ditunda dan program pengangkatan dibatasi. Sementara itu, di sektor swasta, perusahaan berdalih efisiensi untuk memangkas tunjangan, lembur, bahkan merumahkan sebagian karyawan. Situasi ini memunculkan ketidakpastian ekonomi di kalangan buruh, menurunkan daya beli, serta memperlebar jurang ketimpangan antara pelaku kebijakan dan mereka yang menjadi objek dari kebijakan tersebut.

Memahami bahwa kebijakan efisiensi anggaran sebagai langkah rasional negara dalam menjaga kestabilan fiskal, apalagi di tengah tekanan global, penurunan penerimaan, atau beban belanja yang membengkak. Namun, di balik logika anggaran yang tampak masuk akal di atas kertas, tersimpan realitas pahit yang dirasakan langsung oleh rakyat pekerja. Bagi negara, angka bisa disesuaikan dan program bisa dipangkas, tetapi bagi buruh, setiap rupiah yang hilang berarti pengurangan kualitas hidup dan bisa menjadi ancaman kelangsungan hidup.

Ketika efisiensi dijalankan tanpa sensitivitas sosial, ia menjadi pisau bermata satu yang hanya memotong hak dan harapan dari mereka yang lemah. Kebijakan fiskal yang sehat seharusnya tidak mengorbankan keadilan sosial, karena tujuan akhir dari anggaran negara sejatinya adalah sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, termasuk buruh.

Di tengah tekanan hidup yang semakin berat, suara-suara dari akar rumput yakni dari pabrik, sawah, kantor, hingga jalanan terus menggema, meski kerap diabaikan oleh para pengambil kebijakan. Para buruh, baik yang tergabung dalam serikat maupun yang bekerja secara informal, menyuarakan harapan akan perlindungan yang lebih nyata, bukan sekadar janji politik atau retorika musiman. Mereka menuntut agar pemerintah tidak menjadikan efisiensi anggaran sebagai alasan untuk memotong hak-hak dasar pekerja, seperti jaminan sosial, perlindungan kerja, dan kepastian status ketenagakerjaan.

Menghadapi kondisi ini tentunya para buruh akan melakukan aksi damai, menyampaikan petisi, dan menggelar diskusi publik demi memperjuangkan hak yang semakin tergerus. Harapan mereka sederhana: agar negara hadir secara adil dan manusiawi. Mereka tidak menolak efisiensi selama itu dijalankan secara proporsional dan tidak menempatkan pekerja sebagai korban utama. Di tengah badai fiskal, buruh tidak menuntut kemewahan, hanya keadilan agar mereka tetap bisa bekerja, hidup layak, dan membangun masa depan dengan penuh harapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun