BURUH DI TENGAH BADAI FISKAL
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh (May Day) sebagai momentum refleksi atas perjuangan kelas pekerja dalam memperjuangkan hak dan keadilan. Di Indonesia, peringatan ini tak hanya dirayakan dengan orasi dan unjuk rasa, tetapi juga menjadi panggung aspirasi bagi para buruh untuk menyuarakan keresahan kolektif mereka. Namun, May Day tahun ini hadir dalam suasana yang berbeda, di tengah tekanan efisiensi anggaran negara yang memunculkan konsekuensi serius bagi dunia kerja.
Peringatan May Day tahun ini, bukannya mendapat penguatan atas perlindungan sosial dan kepastian kerja, justru buruh dihadapkan pada realitas yang makin getir: pemangkasan insentif, kontrak kerja yang tidak diperpanjang, hingga ancaman pemutusan hubungan kerja atas nama rasionalisasi belanja. Alih-alih menjadi simbol pengakuan atas jasa para pekerja, May Day 2025 menjadi cermin ketimpangan antara kebijakan fiskal dan kesejahteraan nyata para buruh di lapangan.
Ketika negara mulai menyesuaikan diri menghadapi tekanan fiskal yang kian pelik, gelombang efisiensi anggaran pun tak terhindarkan. Pemangkasan belanja rutin, rasionalisasi proyek, hingga penundaan rekrutmen menjadi langkah-langkah yang banyak diambil pemerintah dalam merespons kondisi anggaran yang semakin ketat. Namun di balik angka-angka dan keputusan itu, ada satu kelompok yang selalu menjadi pihak paling rentan yakni para buruh. Mereka yang selama ini menopang kehidupan ekonomi bangsa dengan keringat dan ketekunan, kini harus berdiri di tengah pusaran badai kebijakan efisiensi anggaran. Efisiensi anggaran yang digadang sebagai upaya penyelamatan fiskal justru berpotensi menambah luka sosial baru ketika hak-hak buruh dipangkas, status kerja dikaburkan, dan rasa aman dalam bekerja menguap perlahan. Dalam situasi seperti ini, pertanyaannya bukan hanya soal seberapa efektif negara menata ulang anggaran, tetapi juga seberapa adil keputusan itu bagi jutaan buruh yang terus berjuang menjaga nyala api dapur mereka setiap hari.
Memahami bahwa kebijakan efisiensi anggaran sebagai langkah rasional negara dalam menjaga kestabilan fiskal, apalagi di tengah tekanan global, penurunan penerimaan, atau beban belanja yang membengkak. Namun, di balik logika anggaran yang tampak masuk akal di atas kertas, tersimpan realitas pahit yang dirasakan langsung oleh rakyat pekerja. Bagi negara, angka bisa disesuaikan dan program bisa dipangkas, tetapi bagi buruh, setiap rupiah yang hilang berarti pengurangan kualitas hidup dan bisa menjadi ancaman kelangsungan hidup.
Ketika efisiensi dijalankan tanpa sensitivitas sosial, ia menjadi pisau bermata satu yang hanya memotong hak dan harapan dari mereka yang lemah. Kebijakan fiskal yang sehat seharusnya tidak mengorbankan keadilan sosial, karena tujuan akhir dari anggaran negara sejatinya adalah sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, termasuk buruh.
Di tengah tekanan hidup yang semakin berat, suara-suara dari akar rumput yakni dari pabrik, sawah, kantor, hingga jalanan terus menggema, meski kerap diabaikan oleh para pengambil kebijakan. Para buruh, baik yang tergabung dalam serikat maupun yang bekerja secara informal, menyuarakan harapan akan perlindungan yang lebih nyata, bukan sekadar janji politik atau retorika musiman. Mereka menuntut agar pemerintah tidak menjadikan efisiensi anggaran sebagai alasan untuk memotong hak-hak dasar pekerja, seperti jaminan sosial, perlindungan kerja, dan kepastian status ketenagakerjaan.
Menghadapi kondisi ini tentunya para buruh akan melakukan aksi damai, menyampaikan petisi, dan menggelar diskusi publik demi memperjuangkan hak yang semakin tergerus. Harapan mereka sederhana: agar negara hadir secara adil dan manusiawi. Mereka tidak menolak efisiensi selama itu dijalankan secara proporsional dan tidak menempatkan pekerja sebagai korban utama. Di tengah badai fiskal, buruh tidak menuntut kemewahan, hanya keadilan agar mereka tetap bisa bekerja, hidup layak, dan membangun masa depan dengan penuh harapan.