Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Refleksi Moral: Lebih Baik Hidup Dari Sampah Daripada Jadi Sampah

3 April 2025   07:12 Diperbarui: 3 April 2025   07:12 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: jojoraharjo.com

SEBUAH REFLEKSI MORAL "LEBIH BAIK HIDUP DARI SAMPAH DARIPADA JADI SAMPAH"

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Dalam kehidupan, setiap individu memiliki pilihan dalam mencari nafkah dan menjalani hidup. Ungkapan "Lebih Baik Hidup dari Sampah Daripada Jadi Sampah" mengandung pesan moral yang mendalam tentang makna kerja keras dan kehormatan. Hidup dari sampah, seperti yang dilakukan para pemulung dan pegiat daur ulang, adalah bentuk perjuangan yang jujur dan memberikan manfaat bagi lingkungan serta ekonomi.

Sebaliknya, ada individu yang memilih jalan pintas dengan cara yang merugikan orang lain, seperti korupsi, penipuan, atau tindakan kriminal, sehingga justru menjadi "sampah" dalam masyarakat. Refleksi ini mengajak kita untuk lebih menghargai setiap pekerjaan yang halal, sekecil apa pun itu, daripada menjalani hidup tanpa kontribusi positif.

Input gambar: inspiringsays.com
Input gambar: inspiringsays.com
Realitas Hidup dari Sampah

Di balik tumpukan sampah yang sering dianggap tidak berharga, terdapat kehidupan dan harapan bagi banyak orang yang menggantungkan hidup di sana. Para pemulung, pengelola daur ulang, dan pekerja di tempat pembuangan akhir (TPA) adalah bukti nyata bahwa sampah bukan sekadar benda buangan, tetapi juga sumber penghidupan yang memiliki nilai ekonomi. Mereka bekerja keras setiap hari, menyusuri jalan-jalan kota, menyelamatkan barang-barang yang masih bisa dimanfaatkan, dan mengubahnya menjadi sesuatu yang bernilai. Meskipun sering dipandang sebelah mata dan menghadapi stigma sosial, kontribusi mereka terhadap lingkungan sangat besar.

Namun, realitas di lapangan tidak selalu mudah. Banyak dari mereka bekerja dalam kondisi yang jauh dari layak, tanpa perlindungan kesehatan atau jaminan sosial. Risiko terpapar limbah berbahaya, kecelakaan kerja, dan eksploitasi menjadi bagian dari kehidupan yang harus mereka hadapi. Ironisnya, di tengah keterbatasan itu, mereka masih mampu menjalani hidup dengan penuh semangat dan integritas, tidak bergantung pada bantuan orang lain, serta tetap menjaga harga diri mereka dengan bekerja secara halal.

Kisah-kisah inspiratif dari para pemulung yang berhasil menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi atau pekerja daur ulang yang mampu menciptakan inovasi dari barang bekas menjadi bukti bahwa tidak ada pekerjaan yang hina selama dilakukan dengan kejujuran. Dalam perspektif moral, mereka jauh lebih terhormat dibandingkan individu yang hidup dengan cara merugikan orang lain, seperti koruptor, penipu, atau pelaku kejahatan sosial yang justru menjadi "sampah" dalam masyarakat.

Input gambar: ms.pngtree.com
Input gambar: ms.pngtree.com
Konsep "Jadi Sampah" dalam Kehidupan Sosial

Istilah "jadi sampah" dalam kehidupan sosial bukan merujuk pada kondisi fisik seseorang, tetapi lebih kepada perilaku dan moralitas individu yang tidak memberikan manfaat bagi masyarakat, bahkan cenderung merusaknya. Orang yang disebut sebagai "sampah masyarakat" adalah mereka yang memilih jalan hidup dengan cara yang tidak bermoral, seperti koruptor yang menggerogoti uang rakyat, penipu yang memanfaatkan kelemahan orang lain, atau preman yang hidup dari tindakan kriminal.

Mereka mungkin memiliki kehidupan yang lebih layak secara materi dibandingkan para pemulung atau pekerja sektor informal, tetapi nilai hidup mereka jauh lebih rendah karena keberadaan mereka justru membawa dampak negatif bagi orang lain. Berbeda dengan mereka yang bekerja keras meski dari sampah, kelompok ini memilih kenyamanan dengan cara yang tidak etis, mengabaikan kejujuran, dan sering kali tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap sesama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun