Mohon tunggu...
Salma
Salma Mohon Tunggu... Freelancer - IR Scholar

you're just a microscopic dot in a bunch of universes.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Paradigma Realisme dan Liberalisme dalam Studi Ilmu Hubungan Internasional

11 Maret 2020   18:45 Diperbarui: 12 Maret 2020   07:12 14959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Salma Qanitah Simatupang

Realisme dan Liberalisme : Perdebatan Dalam Studi Hubungan Internasional

Seperti yang sudah diketahui secara umum, dua pandangan Liberalisme dan Realisme adalah paradigma terbesar di Ilmu Hubungan Internasional, yang mana para pelajar HI pada awalnya pasti akan berhadapan dengan paham dan teori ini. Realisme dan Liberalisme sendiri adalah paham yang menjadi perdebatan terbesar dalam ilmu Hubungan Internasional. Keduanya sangat kontras dan memiliki dasar yang berbeda. Realisme dengan pesimistisnya terhadap sifat natural dari manusia, dan Liberalisme yang melihat sisi baik dari manusia. Selain itu, kedua paham ini adalah paham tradisional yang termasuk ke dalam studi HI tradisional yang masih memandang perdamaian dari ada dan tidaknya perang dan dari segi militer. Akan lebih baik bila kita memahami dua paham ini secara mendasar terlebih dahulu.

Realisme

Realisme adalah paham, teori, dan paradigma paling pertama yang lahir di Ilmu hubungan Internasional. Realisme menekankan kendala pada politik yang dihasilkan dari sifat egois manusia dan tidak adanya otoritas pusat di atas negara. Realis berpegang pada pandangan Thomas Hobbes yang berpendapat bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Maka realisme melihat sisi terburuk dari sifat bawaan manusia. Bagi realis, sulit mempercayai negara lain, mereka penuh dengan ketidakpercayaan dan selalu dipenuhi rasa curiga terhadap negara lain. maka dari itu, hal yang mendorong negara realis untuk bergerak adalah dilema keamanan, atau security dilemma. yang akan membuat mereka terus meningkatkan kekuatan di segi pertahanan. Bagi realis, negara harus berada dalam status balance of power, atau keseimbangan kekuatan, agar terjadinya perdamaian.

Menurut kaum realis, negara dan pemimpinnya dihadapkan pada kendala yang tak kunjung selesai, dan sedikit peluang untuk kerja sama untuk menyelesaikan masalah. Dengan demikian, mereka tidak dapat berbuat banyak untuk menghindar dari realitas politik kekuasaan. Catatan realis tentang hubungan internasional menekankan bahwa kemungkinan perubahan damai, atau bahkan segala jenis perubahan, kemungkinan terjadinya sangat terbatas. Bagi seorang pemimpin untuk mengandalkan hasil idealistis seperti itu adalah kebodohan dan hal yang naif.

 Asumsi utama dalam realisme adalah bahwa negara-bangsa (nation-state) adalah aktor utama dalam hubungan internasional, yaitu negara sentris. Kehadiran badan-badan lain, seperti individu dan organisasi, masih tetap diakui keberadaanya, tetapi kekuatan mereka terbatas dan dipandang tidak terlalu penting. Konsep kekuasaan sebagai pusat dari semua perilaku negara; Asumsinya adalah bahwa negara bertindak dan melakukan apa yang mereka perlu lakukan untuk memaksimalkan kekuatan mereka sehingga mereka dapat mencapai tujuan mereka dengan lebih baik. Seperti dijelaskan oleh Hans Morgenthau, bapak teori realis, "Pos-tanda utama yang membantu realisme politik untuk menemukan jalannya melalui lanskap politik internasional adalah konsep kepentingan yang didefinisikan dalam hal kekuasaan". Inti dari dilakukannya hubungan luar negeri adalah demi tercapainya kepentingan nasional dari negara.

Kedua, negara adalah aktor kesatuan. Negara akan bertindak dan mengambil keputusan dengan suara bulat bila itu berhubungan dengan kepentingan nasional negaranya. Ketiga, pihak pembuat keputusan adalah aktor rasional, yang dalam arti bahwa pengambilan keputusan rasional mengarah pada pengejaran kepentingan nasional. Mengambil tindakan yang akan membuat negara dalam keadaan lemah atau rentan adalah tindakan tidak rasional. Realisme menunjukkan bahwa semua pemimpin, apa pun persuasi politik mereka, mengakui hal ini ketika mereka berupaya untuk mengelola urusan negara mereka agar dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang kompetitif. Yang terakhir adalah, negara hidup dalam konteks anarki - yaitu, tanpa adanya pihak yang dapat dijadikan tempat bergantung bila menghadapi keadaan darudat di negaranya.

Bagi kaum realis, kesepakatan internasional sejatinya bersifat sementara dan bersyarat atas dasar keinginan negara-negara mematuhi dan menjalankannya. Maka dari dasar tersebut, artinya perjanjian, aturan, kaidah, dan hukum antara negara-negara hanyalah seperangkat aturan yang bersifat bijaksana namun dapat dikesampingkan jika tidak lagi menguntungkan dan membahayakan kepentingan vital nasional negaranya. hal ini menjadikan tidak akan adanya perubahan yang progresif terhadap sistem politik dunia dibandingkan perkembangan politik domestik. Hal ini juga berarti teori kaum realis HI dianggap valid, dan bukan hanya pada waktu-waktu tertentu saja, tetapi berlaku untuk sepanjang waktu, sebab pada dasarnya dasar politik dunia tidak pernah berubah sejak dahulu.

Seperti yang sudah disebutkan, beberapa tokoh-tokoh penyumbang teori realisme adalah Thomas Hobbes, Thucydides, dan Marchiavelli. Tokoh-tokoh besar tersebut memiliki pemikiran tersendiri yang saling berkaitan dan mendukung pernyataan satu sama lain. Tetapi, ada beberapa kritik yang diterima oleh pemahaman ini dari masyarakat internasional. Yang pertama, adalah realisme memiliki fokus yang terlalu sempit. Yang mana hanya menekankan pada aspek keamanan dan kepentingan nasional yang bersifat independen. Lalu kedua, realisme diklaim gagal untuk menangkap perluasan politik internasional yang merupakan dialog antara aliran-aliran dan perspektif-perspektif dalam hubungan internasional yang berbeda.

Tentunya, kekurangan-kekurangan dari teori inilah yang nantinya akan melahirkan paham lain yang akan mengisi kekurangan dari paham ini. karena realisme memiliki pandangan yang tidak progresif dalam melihat dunia, dan dunia terlalu dipandang pesimis oleh realisme, maka nantinya akan muncul neorealisme, untuk mengkoreksi pandangan mereka tentang interaksi antarnegara di dalam dunia hubungan internasional.

Liberalisme

Liberalisme adalah paradigma yang sangat kontras dari paham sebelumnya, realisme. Jika dijelaskan secara umum, liberalisme adalah paham idealis yang menekankan bahwa sifat manusia adalah baik. Berlainan dengan kepesimisan dari kaum realis, kaum liberalis percaya bahwa manusia dapat bekerja sama dan mewujudkan perdamaian melalui jalan non kekerasan dan perang. Liberalisme, juga dikenal sebagai idealisme, berawal dengan asumsi yang berbeda tentang dunia daripada realisme, dan percaya dalam mengejar kebijakan yang dapat disebut sebagai kebaikan bersama, bukan apa yang baik untuk negara individu.

Liberalis percaya bahwa prinsip-prinsip rasional dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah internasional . Dan setiap individu memiliki kepentingan sendiri, tetapi mereka dapat bekerjasama dalam kegiatan bersifat kooporatif dan dalam aksi sosial baik dalam skala regional maupun internasional. Asumsinya adalah bahwa perang dan konflik dapat dikurangi melalui kerja sama, reformasi, atau tindakan kolektif yang diprakarsai oleh para pemimpin individu, dan bukan dihilangkan. Karena konflik pada dasarnya dapat bersifat positif dan konstruktif. Dalam asumsi-asumsi ini, liberalisme juga mengutip karya filsuf politik abad ke delapan belas, Immanuel Kant, yang berpendapat bahwa "dunia yang baik, negara-negara yang bertanggung jawab secara moral akan lebih kecil kemungkinannya terlibat dalam perang.". Pendapat tersebut juga mengasumsikan bahwa kerja sama dan keterlibatan internasional adalah mungkin, dan bahwa jika semua pihak menyatakan mematuhi norma-norma global dasar, perang dapat dihindari dan perdamaian akan tercipta. Jadi, keyakinan terhadap kemajuan adalah asumsi dasar dari manusia.

Dahulu, sebelum Perang Dingin, kaum liberalis sangat optimis dengan gagasan yang dipercayanya. Hingga akhirnya dibentuk Liga Bangsa-Bangsa untuk mewujudkan gagasan kerjasama yang diusung. Namun saat Perang Dunia II pecah, peristiwa ini mendorong perubahan drastis dari kaum liberalis. Sebab, terjadinya Perang Dunia II disebut sebagai kegagalan dari sistem liberalisme yang mana tujuan awal dibentuknya LBB adalah mencegah terjadinya perang di masa yang akan datang, namun tugasnya tersebut gagal. Kaum Liberalis disebut sebagai kaum utopian oleh para realis sebab terlalu berangan-angan dalam menciptakan perdamaian dengan konsep kerjasama dan mempercayai sifat baik manusia. Realisme menjadi lebih relevan dengan keadaan yang terjadi pada saat itu. Namun setelah Perang Dingin, dibentuk kembali sebuah organisasi berlandaskan kerjasama, untuk meminimalisir terjadinya perang, yaitu Persatuan Bangsa-Bangsa. Yang sampai sekarang masih berdiri dan terus berusaha melaksanakan tujuannya menjaga perdamaian dunia dan sebisa mungkin mencegah timbulnya perang dalam bentuk apapun.

John Locke berpendapat bahwa negara muncul untuk menjamin kebebasan warga negaranya agar dapat hidup dan berbahagia tanpa adanya intervensi dari pihak manpun. Kaum liberalis berpandangan bahwa negara sebagai entitas konstitusional atau rechsstaat, dan rechtstaat, yang membentuk dan menjalankan aturan hukum untuk menghormati hak warga negaranya. Immanuel Kant menyebutkan bahwa dunia dari negara konstitusinal seperti yang disebutkan John Locke itu berbentuk republik dan pada akhirnya negara-negara tersebut dapat membentuk perpetual peace, atau perdamaian abadi di dunia. Dan pada dasarnya memang, konsep liberalisme ini sangat berhubungan erat dengan terciptanya negara konstituasional modern. Kaum liberalis sendiri percaya bahwa modernisasi ini dapat membawa kemajuan di berbagai bidang dan negara akan semakin lebih berprogress bila melakukan kerjasama di berbagai bidang, dan melintasi batas-batas internasional.

Dalam liberalisme, ambil contohnya liberalisme institusional, yang akhirnya menyatukan negara-negara dalam suatu institusi atau organisasi untuk mendorong kepentingan nasionalnya tercapai, seperti dalam interdependensi ekonomi. Tentu saja tidak menutup kemungkinan adanya negara yang akhirnya menjadi dominan atau negara hegemoni. Tetapi melihat bahwa pada akhirnya mereka bekerjasama, dan membuahkan hasil, dapat dikatakan bahwa liberalisme menjadi dasar dari kerjasama tersebut. Justru, interdependensi ekonomi tersebut dapat mengeratkan negara-negara, karena perekonomian pada saat ini bersifat global. Negara yang menutup diri dan bersifat self-help tidak akan maju dan dikucilkan dari mata internasional. Produksi dan konsumsi sangat mahal dalam kesejahteraan bagi negara-negara yang menghindari sistem tersebut. (Holm dan Sorensen, 1995; Cerny, 2010). karena negara-negara tersebut melaksanakan hubungan internasional dengan timbal baliknya secara baru dan kooperatif.

Dan di masalah sistem anarki maupun hierarki, liberalisme tidak berpendapat bahwa anarki telah digantikan oleh hierarki; bahwa adanya eksistensi pemerintah dunia. Tetapi mereka berpendapat bahwa anarki adalah hubungan internasional yang jauh lebih kompleks. Juga, perdamaian bukanlah tentang ada atau tidaknya perang lagi. Perdamaian liberal berpredikat atas nilai-nilai demokratik liberal, tingkat interdependensi ekonomi yang tinggi, serta jaringan institusi padat yang memfasilitasi kerja sama. (Lipson, 2003; Mandelbaum, 2004).

Sumber referensi :

Jackson, Robert., dan Serensen, Georg. 2014. Pengantar Studi Hubungan Internasional : Teori dan Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Reus-Smit, Christian., dan Snidal Duncan. (editor) 2008. The Oxford Handbook of International Relations. New York: Oxford University Press Inc.

Kaufman, Joyce P. 2013. Introduction to International Relations : Theory and Practice. Maryland: Littlefield Publishing Group, Inc.

Antunes, Sandrina., dan Camisão,  Isabel. 2018. “Introducing Realism in International Relations Theory.” [online], dalam https://www.e-ir.info/2018/02/27/introducing-realism-in-international-relations-theory/. [Diakses pada 11 Maret 2020, Jam 16.24]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun