Mohon tunggu...
salman imaduddin
salman imaduddin Mohon Tunggu... Sales - Komunitas Ranggon Sastra

Control by eros

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Syahwat Batu" dalam Bincang Santuy

19 November 2019   11:49 Diperbarui: 19 November 2019   11:54 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bincang Santuy "Syahwat Batu" karya Ali Ibnu Anwar. Senin, 18 November 2019 telah berlangsung diskusi antologi puisi pemenang Malam Anugerah Hari Puisi Nasional kategori 5 buku puisi pilihan. 

Ali Ibnu Anwar merupakan Penyair asal Jember yang juga salah satu pendiri Komunitas Ranggon Sastra. Diskusi kali ini cukup padat dan panjang. Pembahasan buku Ali mulai dari perjalanan spritual sampai bentuk prosais yang dipakai dalam puisi-puisi dalam buku tersebut menjadi daya pikat tersendiri. 

Jahitan-jahitan dengan kata hubung dalam maupun luar kalimat menjadi kelebihan Ali mengingat beliau lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Indraprasta PGRI. Walau menuai kritik dalam hal tersebut Ali mencoba membantu pembaca memaknai dan membayangkan puisi secara linear. Ia ingin masyarakat luas mampu memaknai puisi-puisinya.  "Makna dalam diksi yang dipakai menjadi menarik dan dapat dibaca mengalir, walau seringkali ditemui diksi diluar kbbi. Beberapa diksi tersebut menggambarkan kedalaman yang lebih bersifat sufistik seperti kata Hu ataupun Hua dalam puisi tersebut" terang Musalam Firman sutradara teater yang juga menulis puisi serta aktif sebagai youtuber selaku pemantik diskusi tersebut. 

Selain itu dalam buku puisi di sini menjelaskan sisi pengalaman batiniah dalam perjalanan Ali mulai Jember-Madura hingga Mekah-Madinah.  Ali menerangkan bahwa memang dalam buku ini masih sangat kental subjektifitas penulis. Banyak kritikan terkait puisi-puisi agung menggambarkan sudut pandang islami yang ditulis Ali ini berupa segmentasi dalam ruang pembaca. Namun Ali menjelaskan bahwa puisi ini memang menceritakan sebuah perjalanan ibadahnya.

Ali pun menerima masukan dari Luthfi Setyo Whidy, sutradara teater yang juga menulis naskah, puisi,  dan prosa. Penyair itu mengkritik keseragaman dalam model puisi yang ditulis Ali beberapa puisi dinilai Luthfi berebeda dengan yang lain. Seperti puisi "tahiyat" yang lebih dapat menghasilkan diskusi karena menciptakan imajiner yang tidak biasa. Sedangkan kebanyakan puisi lainnya dalam buku ini dapat dibayangkan dengan nyaman dan mengalir. Menurut Luthfi ketidak seragaman tersebut akan menyulitkan jika ada peneliti buku Ali dalam pisau bedah yang hanya fokus pada satu puisi awal yaitu "tahiyat". 

Banyak tanggapan dan pertanyaan juga dari para peserta yang hadir mengapresiasi karya Ali tersebut. Pertanyaan dari proses penciptaan puisi-puisi dalam "Syahwat Batu" sampai perbandingan dengan antoligi puisi Ali lainnya. Diskusi berlangsung cair dan rileks sesuai tema Bincang Santuy yang didipakai.  Diskusi yang berlangsung di Basecamp Komunitas Ranggon Sastra dari mulai pukul 14.00 WIB sampai bubaran pukul 22.00 WIB  mendapati para peserta  yang sangat antusias.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun