Mohon tunggu...
Mulyadi Azwar Sannang
Mulyadi Azwar Sannang Mohon Tunggu... profesional -

Backpacker, Traveller, Adventurer, Climber, Mountaineer fanatics, Street photographer, and also a GEOLOGIST. \r\n\r\nSee more at: hampirgeologist.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

A-U-T-I-S (Part 1)

6 Oktober 2011   13:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:16 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A-U-T-I-S (Part 1)

Hitam, kecil, kira-kira seukuran tai lalatnya tante Titi Sandora. Berdesing-desing menumbuk uap yang mengepul-ngepul dari beberapa baki sup yang entah apa isinya dan belasan nampan lauk berlumuran santan dan minyak kelapa. Uhh.. Masih panas… lalu, setelah beberapa putaran akhirnya mendarat juga dia di atas sedulang full kue onde-onde. Hard landing. Tepat di depan pak imam desa. Mungkin karena merasa tidak rela ada tamu tak diundang yang tiba-tiba saja frontal, tak beretika, nyelonong, curi start menikmati onde-onde (gile aje.. kita saja yang jelas-jelas diundang bahkan belum sempat minum). Akhirnya pak imam yang walaupun sementara tangan kiri beliau sibuk menopang kitab barsanji supaya tetap berada lima centi pas di depan hidungnya dan mulut beliau yang senantiasa sibuk komat-kamit merapal barsanji dengan tajwid dan makhrajal huruf ala beliau sendiri, namun dengan heroik beliau pun masih care dengan nasib onde-onde dan bersedia mengibas-ngibaskan tangan kanan beliau, berusaha mengusir. Huh… dasar lalat nakal!! Mengganggu konsentrasi pak imam saja. Dan, coba lihat… ini akibatnya; asap dupa kemeyan yang sedari tadi damai tentram menelusup keluar dari sela-sela dinding papan yang tak rapat serta atap daun lontar berlubang yang bersinar seperti bintang kesiangan di bawah terpaan sinar matahari, kini kocar-kacir berhamburan di dalam ruangan. Terkena kibasan tangan pak imam. Maka lengkaplah sudah. Aroma sup dan hidangan berkuah kental full rempah-rempah dan masih mengepul panas yang tadi sempat membuat kerongkongan kering seketika dan reflex menelan ludah sendiri, perlahan mulai diracuni aroma asap kemenyan. Seiring tiga-empat orang tamu yang da mulai ngantuk satu-satu mulai menyulut rokoknya. Entah ngatuk karena mendengar pak imam barsanji ato karena bosan menunggu imam selesai, ato gara-gara kecapean setelah melaut semalaman suntuk, ato cuman iseng aja (kurang kerjaan amat ni orang), ato emang uda kecanduan berat sama gulungan daun tembakau itu. Yang jelas, tanpa sadar -ato setengah sadar, ato lagi pura2 gila- mereka membakarnya bersama beberapa lembar uang yang selama ini dengan susah payah mereka kumpulkan di tengah laut sana bahkan hingga berhari-hari mereka tinggalkan anak istri di rumah. Beberapa ratus perak uang mereka hangus dalam tiap batangnya. Beberapa ribu lagi sukses jadi abu dalam tiap bungkusnya. Dan mungkin beberapa belas atau puluh atau bahkan ratus ribu lainnya yang akhirnya sia-sia mereka konversi menjadi peyakit dan asap dalam tiap pekannya, bulannya, tahunnya, hidupnya. Dan asap itu kini adalah persoalan tersendiri dalam ruangan panas, sempit, dan sesak ini. Walaupun bisa terlihat jelas pak imam agak lega sedikit. Beliau tak lagi harus repot-repot berjuang mengusir lalat, lantaran sudah tersedia berbagai macam asap yang mengganti fungsi tangan beliau mengibas-ngibas. Dan memang walaupun kini beliau lebih konsen membaca barsanji, tapi tetap saja ini bukan sebuah pembenaran untuk asap-asap yang berkeliaran seenaknya. Ini polusi bro… dan di nagara-negara maju di Eropa, Amerika, bahkan Asia seperti Singapura dan Jepang, kau akan didenda hingga ribuan yen jika nekat ‘berasap’ di tempat umum. Apalagi di acara hajatan begini, yang hadir mulai dari balita yang baru sebulan sampe yang dah berbulan-bulan, anak-anak dari yang ingusan sampe yang kumisan, ABG dari yang merasa dirinya cowok sampe yang merasa dirinya cewek, bapak-bapak, ibu-ibu, tante-tante, om-om, sampai yang bergelar kakek-kakek dan nenek-nenek. Hm… sebuah pelanggaran berat. Tapi sayang, disini bukan singapura atau jepang… sadar euy… Sadar. Ternyata, disini rupanya. Di sebuah perkampungan nelayan Suku Bajo. Di atas laut, dan betul-betul rumah mereka berada di atas laut dalam arti yang bukan kiasan. Di pojok kampungnya yang bahkan listrik dan signal-pun mereka tak punya. Terpencil. Di rumah salah satu warganya yang sedang mengadakan hajatan, tepatnya di sebuah ruangan semi – maksudnya ruangan setengah jadi. Lantaran atap lontarnya yang tak rapat dan berlubang dimana-mana persis nasib sekat-sekat dindingnya. Ada tiga lubang besar di dinding, yang dua bentuknya mirip jendela dan yang satunya lebih mirip pintu, tempat aku masuk tadi. Tapi sepertinya tak ada daun jendela ataupun pintu yang melekat di sana. Sangsi juga bahwa tadi aku benar-benar masuk lewat ‘pintu’. Ku meringkuk dekat pojok ruangan, hanya terpisah tiga orang di samping kiri pak imam. mengkerut dan terkompressi ke bentukku yang lebih kecil akibat berdesakan dengan para tamu lainnya yang mulai padat merangsek masuk ke dalam ruangan. Mungkin mereka tahu, sebentar lagi pak imam akan selesai membaca barsanji lalu setelah beberapa menit dilanjutkan do’a, maka acara inti pun segera di mulai; Makan… hehe… Ternyata semakin mendekati acara inti, animo dan antusiasme para tamu pun semakin tinggi. Akibatnya, ruangan semi yang mungil ini mulai tampak seperti kafe-kafe kecil di kota Makassar yang sedang menggelar nonton bareng final Liga Champion. Orang-orang berdesakan mengerubungi layar TV. Disini, mungkin karena tak adanya TV, maka sebagai subtitusinya para tamu pun nampaknya tak kecewa mengerubungi hidangan makanan yang dijejer memanjang. Dan mereka punya semangat yang tak kalah berapi-api menatap hidangan ini seperti menatap layar TV. Namun bagiku, ada hal yang lebih krusial saat ini. Bertambahnya populasi tamu mengakibatkan kepulan asap dari mereka yang hobi ‘berasap’ semakin tebal. Asap rokok dan kemenyan yang tadi masih fifty-fifty di hidungku kini mulai tak seimbang. Dan sepertinya ada wewangian baru yang tiba-tiba mencabut paksa bulu hidungku. Matahari yang mulai mengganas menyusupkan sengatnya di sela-sela atap lontar berlubang di tambah oleh puluhan lubang hidung para tamu yang saling berebut Fresh Oxygen sekarang berkontribusi signifikan dalam menaikkan temperatur ruangan ini. Gerah, dan pori-pori yang mulai minta ampun terpaksa memuntahkan keringat sebesar biji jangung. Lalu bercampur dengan daki, sisa keringat, dan sisa air laut yang menggaram di kulit. Lalu akibat suhu yang kian panas dan sumpek, dengan cepat akhirnya menguap ke udara. Dan apabila hidungmu ada disini, tentu hidung kau itu akan segera menuliskan memo ke otak melalui sarafmu. Bahwa inilah yang namanya; Bau badan alias bau ketek…!!! Dan bau itu punya kami… sepertinya sih… Dan jika otak kau masih waras, tentulah kau akan segera keluar mencari oksigen murni karena jika sampai kau pingsan disini…. Aku setengah tak yakin bahwa kau mau dan rela serta ikhlas para bapak-bapak nelayan yang kekar-kekar dan baik hati ini memberimu RCP alias napas buatan! Walaupun itu gratis. Maka bersyukur sajalah bahwa akulah yang ada disini, dan bukan kamu. Tapi tak perlu sampai mengasihaniku hanya karena aku terlanjur ada disini dan dikepung oleh wewangian-wewangian ini. Karena jujur saja, menurutku aku beruntung tak sewaras dirimu. Karena menurutku, perjuangan mencapai lubang di dinding yang mirip pintu untuk keluar itu dan mencari bantuan oksigen di luar sepertinya lebih berat dan mungkin menentang etika. Ketika sebentar lagi acara inti dimulai dan para tamu lainnya begitu ingin masuk ke ruangan ini, mana bisa aku malah keluar begitu saja. Aaapa kata duniaaa? Aku tak mau jadi alien disini. Lagipula kata guru SD-ku dulu, “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Maka okelahkalobegitu, aku memilih tetap duduk di tempat sambil berjuang menjunjung langit di atasku, walau tetap saja hidungku terasa tercabik-cabik. Lima menit berlalu… suasana makin menggila saja. Sedang parahnya lagi, pak imam sepertinya masih lama dengan do’anya. Bahkan perlahan irama beliau berdo’a semakin parau dan lamban. Entah beliau semakin khusyu’ berdo’a ataukah karena waktu yang semakin tercekik di tengah himpitan para tamu, bau-bauan, dan asap-asap disini. Asap kemenyan, asap rokok, bau badan, CO2 hasil respirasi puluhan orang, bahkan bunyi sendawa yang terdengar malu-malu beberapa meter di sampingku, mengumumkan bahwa si bapak itu baru habis makan telur tadi pagi. Kombinasi sempurna ini tidak saja berdesak-desakan dengan aura air laut mendidih di atmosfer ruangan ini tapi ternyata sudah menyesaki hidungku. Sehigga jika saja aku bisa bernapas dengan kulit. Tapi sayang, kulitku terlanjur tersumbat keingat sendiri. Sepuluh menit berlalu… dan semakin extreme saja di sini. Ambang batas polusi udara sepertinya sudah jauh terlewati. Dalam kasus seperti ini, WHO pasti merekomendasikan masker penutup hidung seperti ketika SARS marajalela. Dan disini tiba-tiba saja kami diselimuti kabut di siang bolong dengan efek panas dan sumpek yang suaaangat menggerahkan. Tapi intinya, aku belum siap pingsan disini! Berusaha mengingat hal-hal bahagia dan lucu mungkin bias membuat lupa situasi kritis disini. Maka akhirnya satu per satu moment-moment konyol dua-tiga hari lalu kembali ku ingat-ingat. Semoga saja bisa menstimulasi hormon endorphin-ku untuk aktif dan setidaknya bisa membuatku bertahan beberapa saat untuk tak collapse. ………… to be continue: A-U-T-I-S (Part 2)

salman@lfarisy. At Rig 01. Nickel Exploration Project, Morombo Site. May 24, 2010 Sehari setelah hajatan daging penyu

Perahu.. sesuatu yang terlalu bernilai untuk orang Bajo'..

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun