Mohon tunggu...
Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf Mohon Tunggu... Mahasiswa - Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Dan sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penikmat Kajian keislaman dan filsafat.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Becoming

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pemikiran Muhammad Shahrur tentang Perempuan

25 November 2021   09:20 Diperbarui: 22 Desember 2021   02:34 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kehadiran Shahrur dengan karya-karyanya, terutama al-Kitab wa al-Qur'an, berupaya mengingatkan monopoli pembacaan teks al-Qur'an yang telah melahirkan turath (tradisi) yang oleh generasi berikutnya selalu diposisikan sebagai sebuah ajaran yang ghayr qabil li al-niqash (tidak dapat diperdebatkan). Pemahaman teks al-Qur'an tidak seharusnya terikat dengan penafsiran lama, karena kebenaran penafsiran terhadap al-Qur'an harus diukur dengan periode sejarah dimana tafsir tersebut ditulis. 

Usaha Shahrur untuk membebaskan generasinya dari belenggup enafsiran lama tidak berhenti pada tataran kritik semata, tetapi ia mencoba memaparkan problem-problem yang dipahami pemikiran Arab kontemporer sebagai berikut:

Pertama, keringnya metode penelitian ilmiah yang obyektif, khususnya berkaitan dengan kajian teks al-Qur'an. Kedua, terperangkap dalam subjektifitas kajian-kajiannya yang berangkat dari asumsi yang dianut menuju kesimpulan yang memperkuat asumsi awal. Akibatnya tidak ada objektifitas dalam kajian tersebut serta tidak menghasilkan sesuatu yang baru.

Ketiga, terabaikannya filsafat Humaniora yang berangkat dari pandangan yang salah terhadapnya, dengan penilaian bahwa filsafat Yunani (Barat) adalah sesat. Keempat, tidak adanya perangkat epistimologi Islam yang mapan dan valid yang bersumber dari al-Qur'an, yang berdampak kepada kemandekan berfikir, fanatisme madzhab dan berputar dalam bingkai pemikiran turath (peninggalan ulama terdahulu). Kelima, umat Islam terpenjara oleh krisis fiqh, mereka membutuhkan fiqh baru yang kontemporer, bukan hanya kritik terhadap fiqh lama tanpa adanya tawaran alternatif baru.

Kritik Shahrur tersebut, mirip dengan kritik Muhammad Arkoun. Menurut Arkoun, pemikiran Islam banyak dipengaruhi oleh angan-angan sosial (imaginnaire sociale/al-mikhyal al-ijtima’i) yang menyimpang dan menyeleweng. Angan-angan sosial ini bisa berupa norma, nilai, tujuan, keyakinan, dan pengesahan masyarakat terhadap mekanisme suatu sistem, tradisi dan ideologi. 

Di dunia Islam, hal-hal seperti ini sungguh sulit untuk dihapus karena mempunyai akar sosial yang sangat kuat. Oleh karena itu, syarat utama untuk meluruskan berbagai penyelewangan tersebut, menurut Arkoun, adalah dengan melakukan dekonstruksi episteme atau pembongkaran dogmatisme dan‚ ortodoksi dalam tubuh umat Islam agar pemikiran Islam bisa mencapai keterbukaan dalam kancah rasionalisme dunia modern.

Arkoun membagi i’tiqad (keyakinan) dalam Islam menjadi dua pereode: pertama, keyakinan sebelum formulasi dogma iman (ma qabla taariikh al-tashakkul al-dughma'i li al-iman); kedua, keyakinan setelah mengguritanya dogma iman dalam tubuh umat Islam (ma ba’da taarikh al-tashakkul al-dughma'i li al-iman). Sebelum formulasi dogma keimanan (periode sebelum abad ketiga Hijriyah), pemikiran umat Islam masih terbuka dan bebas dengan berbagai perbedaan. Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin untuk didiskusikan dan diperdebatkan, termasuk dalam mengembalikan pemahaman ajaran terhadap nash (amaliyat al-ta'sil). Keadaan ini jauh berbeda dengan pereode setelah terbentuknya dogma iman. Umat Islam terpaksa harus menerima segala realitas keagamaan apa adanya. Teks keagamaan dianggap telah paripurna, dan karenanya, ia dapat memaksa setiap orang agar hanya berpegang kepada teks produk sejarah tersebut.

Menurut Shahrur, aurat berasal dari konsep rasa malu (al-haya'), yaitu tidak adanya kerelaan seseorang untuk memperlihatkan sesuatu, baik yang ada pada dirinya maupun prilakunya. Tingkatan rasa malu ini bersifat relatif, tidak mutlak dan mengikuti tradisi. Yang tidak mengalami perubahan (thabit) adalah juyub, sedangkan aurat dapat berubah sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi (hasba al-zaman wa al-makan). Karena itu, pembatasan aurat laki-laki dari pusar hingga lutut merupakan ketentuan yang bersifat relatif. Demikian pula berkaitan dengan bagian-bagian tubuh perempuan—selain juyub yang harus ditutupi selalu bergerak seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

Tak hanya itu, menurut Shahrur, tubuh perempuan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama, bagian tubuh yang terbuka secara alami (qism zahir bi al-khalq). Dalam surah al-Nur: ayat 31 Allah SWT berfirman:

ولا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إلاّ ما ظَهَرَ مِنْهَا

"janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun