"...Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya...."
Secara langsung pembaca atau pemirsa penentu hidup matinya penulis atau pengarang juga kreator siapapun atau media apapun. Terbayangkah jika satu media online raksasa sekalipun akan runtuh dalam hitungan detik jika menjual barang palsu melulu, apa lagi di masa milenial kini, bisnis online adalah usaha dagang kejujuran total non-korupsi disegala lini sektor.
David Ogilvy, si raja iklan kreatif kelas dunia pencipta bentuk-bentuk logo dan iklan kreatif dengan ide sederhana, semisal iklan merek korek terkenal di dunia, digambarkan dalam bentuk seekor ikan hiu, menelan korek api dalam keadaan menyala, dibawa kedasar laut, lalu hiu itu muncul dengan korek masih menyala di dalam rongga mulutnya, ada lagi iklan sebuah rokok merek terkenal di dunia, diselipkan di helm seorang tentara dengan teknik foto medium closeup piawai hitam putih, sederhana tepat sasaran pada titik kecerdasan pembaca atau pemirsa iklan, lantas melanda dunia, rokok itu menjadi gaya hidup zamannya di tengah perilaku budaya publik ketika itu zaman orde baru.
Itu sebabnya pula kalau seumpama jadi penulis dilarang sombong, kata perumpamaan bahasa di atas langit ada langit. Apalagi penulis eceran seperti saya, anak bawang warung kopi, baru gabung di Kompasiana he he he... Sangat dilarang sombong untuk selamanya. Kembali lagi hal sekapur sirih ini. Apalah artinya sebuah tulisan sekalipun telah ditayangkan jika tak ada pembacanya.
Demikian pula hampir mirip dengan kalimat menghakimi atau main hakim sendiri atau main hakim-hakiman atau hal mirip setara itu. Siapa yang merasa dihakimi? Semisal menulis tentang anti korupsi? Apakah itu bukan sumbangsih pada aturan negara tentang anti-korupsi?
Menulis anti korupsi tidak berarti menghakimi koruptor kan? Mungkin merupakan salah satu amal sederhana dari salah satu anggota masyarakat untuk masyarakat, sosialisasi, mengingatkan bahwa korupsi adalah hal tabu dan tidak ada celah baiknya.
Jakarta, Agustus 2018/Siti.