Mohon tunggu...
Sakban Rosidi
Sakban Rosidi Mohon Tunggu... profesional -

Membina kelas Filsafat dan Metodologi Penelitian Pengembangan pada Program Pascasarjana; Psikologi Sosial, Sosiologi dan Antropologi pada Program Sarjana. Cukup lama mengajar filsafat, linguistik dan cultural studies di Program Studi Sastra Inggris.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Tentang Menulis Ulang [Karya] Puisi

4 Februari 2012   17:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:03 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13283764111418337002

Tentang Menulis Ulang [Karya] Puisi [dengan permintaan maaf kepada Imaduddin Arifin Lalu] Sakban Rosidi

Memenuhi janji kepada sahabat-sahabat kelompok taman sastra untuk berbagi gagasan seputar bahasa dan sastra, saya memulainya dengan secara rambang memilih salah satu puisi sebagai korban untuk ditulis ulang. Sejak semula, saya menganggap sudah tidak ada persoalan lagi dalam kesatuan pesan yang hendak disampaikan. Saya percayakan itu kepada penulis asli puisi. Maksud saya, saya memperlakukan setiap karya sebagai satu kesatuan koheren yang tidak mengandung pertentangan internal (contradictio in terminus). Selanjutnya tinggal soal teknis saja yang menyerupai kemasan sebuah karya. Hanya dengan mengandalkan kekayaan kosa kata, kepekaan rasa, serba sedikit gaya, dasar-dasar semiotika dan linguistik, serta wawasan estetika, saya menulis ulang puisi korban.

Tentang kekayaan kosa kata dan kepekaan rasa, dan serba sedikit gaya, saya tak hendak bertutur banyak, karena sudah sewajarnya setiap penulis karya sastra secara terus-menerus menghargai dan mengembangkannya. Alasannya sederhana, penulis sastra adalah pekarya seni berbahan dasar bahasa (bunyi, kata, frasa, wacana dan makna). Ia seperti musisi yang memperlakukan secara hati-hati bahan dasar berkeseniannya berupa nada dan irama.

Bahasa, sebagai sistem tanda bunyi bermakna, dan sebagai bahan dasar berkesenian sastra, sering dipahami sebagai kesatuan struktur dan sistem. Ferdinand de Saussure, menggunakan istilah tautan sintagmatik (struktur) dan tautan paradigmatik (sistem). Perhatikan penggambaran dalam karya suntingan Kirsten Malkjaer (Linguistic Encylcopedia,1995: 482) berikut ini:

Struktur Sintagmatik dan Sistem Paradigmatik

Hubungan antar kata yang bersifat linier dalam sebuah kalimat, merupakan cerminan keberadaan tautan sintagmatik yang membentuk struktur kalimat. Perubahan letak kata dalam tautan sintagmatik akan menentukan makna satu atau lebih kata. Dalam gatra ini pula, strukturalisme menunjukkan kebermaknaannya, bahwa makna suatu kata, frasa atau kalimat, tidak berada dalam dirinya sendiri, melainkan bergantung pada letaknya di antara kata-kata yang lain. Ini bukan soal pengaruh konteks (context), melainkan koteks (co-text), seperti "taman sastra" berbeda sama sekali dari "sastra taman".

Bahasa, sebagai fenomena khas manusia, juga memiliki sifat generatif, dalam arti beranak-pinak secara tak terbatas. Mengapa bisa demikian? Sebagai makhluk pengguna lambang, manusia tak hanya meniru setiap ungkapan bahasa. Lebih dari itu, manusia bisa menali-temalikan secara hakiki satu kata dengan kata lain. Manusia bisa mengenali kata benda, kata kerja, atau kata sifat bukan karena belajar linguistik, tetapi karena memang hanya manusia yang memiliki piranti pemeroleh bahasa. Kemampuan mengasosiasikan kata ini yang menjadikan manusia bisa menghasilkan (generate) ungkapan-ungkapan baru dengan bahan dasar lama. Hubungan antar kata yang bersifat asosiatif dalam ruang pikiran kita, merupakan cerminan keberadaan tauran pardigmatik. Singkat kalimat, keberadaan tautan sistem (paradigmatic) dalam bahasa memberi peluang bagi manusia untuk membentuk segala ungkapan baru.

Marilah kita perhatikan, bagaimana kedua kaidah linguistik struktural ini bekerja dan akan bermanfaat bagi para pengguna bahasa, dan lebih khusus lagi bagi para penulis karya sastra. Andaikan ada dua kalimat, yaitu: (1) Saya sudah makan, dan (2) dia belum mandi. Apakah konsekuensi logis dari penguasaan kita atas kedua kalimat tersebut?

Tanpa mengikuti perkuliahan Introduction to Linguistics, Schools of Linguistics ataupun Current Issues in Linguistics --- ini tiga matakuliah yang saya pernah dan biasa ajarkan --- seorang anak balita pun akan dengan sangat cerdas tak hanya mengulangi kedua kalimat tersebut, tetapi bisa menyusun sejumlah kalimat baru:

Saya sudah makan; Saya belum makan; Dia sudah makan; Dia belum makan; Saya sudah mandi; Saya belum mandi; Dia sudah mandi; Dia sudah mandi; Dia belum mandi, saya sudah makan; Dan seterusnya.

Secara praktik, tautan paradigmatik tak hanya menyangkut asosiasi fungsional (fungsinya dalam kalimat) tetapi juga asosiasi aproksimasi (kedekatan makna) sebagaimana dalam padan kata. Bila berdasarkan asosiasi fungsional bisa dipertukarkan saya, dia, kamu, kami, kita dan sebagainya, maka berdasarkan asosiasi aproksimasi saya bisa dipertukarkan dengan aku, beta atau hamba, sedangkan makan dengan bersantap, melahap, menikmati dan sebagainya.

Kini kita sampai pada salah satu teknik penulisan ulang puisi yang sering saya contohkan dengan memanfaatkan sedikit penjelasan teoretik tersebut. Kita bisa mulai, misalnya dengan kalimat yang merupakan judul cerpen Hamsad Rangkuti (1999), "Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?"

Pertahankan tautan sintagmatik kalimat tersebut. Selanjutnya buatlah semacam tabel (boleh imajiner) dengan kolom sebanyak kata dalam kalimat tersebut. Pada setiap kolom, bisa dituliskan pertama padan kata, kedua kata yang berasosiasi dengannya. Misalnya, pada kolom "maukah" bisa ditulis "sudikah" "berkenankah" dan sebagainya. Pada kolom "kau" bisa ditulis "kamu", "engkau", "kanda", "tuan" dan seterusnya. Pada kolom "menghapus", bisa ditulis "menghilangkan", "menutup", "menyembuhkan" dan sebagainya. Pada kolom "bekas", bisa dituliskan "jejak", "luka", "sakit", dan sebagainya. Pada kolom "bibirnya", bisa ditulis "cintanya", "kasihnya", "tempatnya", dan seterusnya. Pada kolom "di bibirku", bisa ditulis "di hatiku", "di jiwaku", "di tubuhku", dan seterusnya. Selanjutnya silahkan berimajinasi, hingga sebenarnya kita bisa menulis begitu banyak ekspresi estetik berbahan dasar kata, tetapi tetap dalam pesan dan makna yang kurang lebih sama.

Sejauh penulisan ulang dilakukan oleh penulis asli puisi, maka tiada keraguan bahwa pesan dan maknanya akan kurang lebih sama. Namun demikian, bila penulisan ulang dilakukan oleh orang lain --- misalnya dengan tujuan menjiplak alur dan gagasan --- maka pesan dan makna sangat mungkin mengalami pembiasan. Ini terjadi karena sebagaimana hermeneutika mengajarkan, setiap makna bagi pembaca adalah persenyawaan dua cakrawala, penulis dan pembaca.

Sebagai akademisi yang boleh salah tetapi tidak boleh bohong, saya menyebut puisi hasil penulisan ulang saya ini sebagai "Puisi Gaya Tanpa Jiwa". Selanjutnya saya persilahkan teman-teman mencermati dan memetik pelajaran dari contoh kasus yang dengan sengaja mengorbankan karya Imaduddin Arifin Lalu [dalam kelompok taman sastra] berjudul "Namamu". Selengkapnya puisi aslinya sebagai berikut:

Imaduddin Arifin Lalu

--- puisi ---

NAMAMU

Disuatu pagi yang biasa.

Saat mega berwarna jingga

menjemput biru.

Aku dan namamu kupajang di

depan pohon akasia.

Rintik daun melati meringkik.

Aku sudah mati.

Hatiku sudah abu.

Namamu sudah hangat kudekap.

Disuatu pagi yang biasa.

Disaat semut merah berbaris di

depan terotoar.

Namamu kuarak di atas pelataran

gereja.

Namamu sudah mati.

Hatimu sudah layu.

Langit yang kosong tanpa jendela.

Tak bisa ku lihat tuhan dari

bawah kaca.

Namamu, hanya itu yang mengiris

langit pagi itu.

Dengan teknik penulisan ulang sebagaimana saya uraikan, maka puisi karya Imaduddin Arifin Lalu telah tampil berbeda, pun dengan tanggapan yang berbeda pula. Selengkapnya sebagai berikut:

kau

--- bersemula kata dan tanda ---

hari bermula biasa saja

ketika awan memerah cina

menggamit datang kelabu

telah pahat aku namamu

sebalik pohon menampak kayu

tik-tik atas serpih dedaunan bunga lirih

tiada lagi diri

menghitam arang cintaku

telah kukuh kau kurengkuh

hari bermula sangat wajar

ketika barisan pencari nafkah mengular

meliuk saling berkejar

kupundi kau ke altar

gedung sakral

kau telah mati

jiwa sepi kerontang

cakrawala lengang tanpa celah

tiada menampak tuhan

dari bingkai penglihatan

hanya panggilanmu menoreh tajam

sembilu langit pagi itu

Sekali lagi, penulis sastra adalah pekarya seni berbahan dasar bahasa (bunyi, kata, frasa, wacana dan makna). Ia seperti musisi yang memperlakukan secara hati-hati bahan dasar berkeseniannya berupa nada dan irama. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun