Tanganku benci sekali korupsi. Namun, apalah daya. Aku hanyalah rakyat melarat nan jelata. Aku memang bertangan dua. Sayang, keduanya lumuh, buyuten, gemetaran, lemah, lunglai, lumpuh, dan pepleh. Aku papa meski bertangan dua. Maka, mana mungkin aku membanting, menggebuk, memalu, memukul, menangkap, atau meringkus koruptor?! Bahkan, menyentuh kain jas necis koruptor pun tanganku tak akan mampu! Duh, betapa lemah kuasa kedua tanganku!
Kakiku juga antipati terhadap korupsi. Tapi, bisakah? Aku hanyalah rakyat melarat nan jelata. Kedua kakiku buyuten dan malas mengayun. Jangankan berlari, aku merangkak pun orang malah ketawa ngakak. Maka, mustahillah aku bisa mengejar koruptor. Mereka sudah bisa dan biasa melaju kencang dengan limosin panjang di ruas-ruas jalan tol. Mereka telah bisa dan biasa beterbangan tinggi dengan burung-burung dan capung-capung besi. Duh, alangkah rapuh kedua kakiku!
Lidahku pun tidak segan berteriak lantang, "Kalian itu koruptor laknat!" Tapi, mampukah? Aku hanyalah rakyat melarat nan jelata. Lidahku telah lelah, kelu, dan kaku. Bahkan, mulutku tertutup rapat-rapat terkunci gembok antek-antek koruptor. Kekuatan mereka adalah ketakutanku. Aku takut bersuara di televisi, koran, radio, internet, seminar, kuliah, pengajian, arisan, atau sekedar ngobrol di gardu. Bahkan, kini aku sudah takut bersuara di dalam sanubariku sendiri. Maka, lidahku tak sanggup lagi menghujat, mencela, mencerca, atau mengutuk koruptor. Duh, begitu naifnya bicaraku!
Otakku sudah berpikir keras memberantas korupsi. Tapi, kuatkah? Aku hanyalah rakyat melarat nan jelata. Otakku tak sepadan dengan lawan yang ber-IQ jenius. Koruptor telah gonta-ganti modus operandi korupsi. Sementara, aku masih berpikir monoton dan sendiri. Otakku pun sudah terbebani urusan anak dan istri. Terus memikir esok kami makan nasi atau bukan nasi, atau bahkan tak bisa makan sama sekali. Lalu, mana mungkin aku tandingi IQ jenius otak koruptor? Duh, malang nian juang otakku!
Diriku sudah tak mampu melawan korupsi. Apakah Anda semua masih bisa?! Tolong jangan katakan kepadaku bahwa Anda juga tak mampu karena kedua tangan Anda juga linu-linu terserang psikosomatik rematik ketika mulai menyelidik dan menyidik koruptor nan licik. Aku mohon Anda jangan mengeluhkan kedua kaki Anda yang juga terserang kejang-kejang untuk menendang koruptor yang sudah melesat kencang. Aku berharap lisan Anda masih lantang menantang korupsi. Bukan malah merintih-rintih minta pulang dari medan juang mengganyang korupsi. Terakhir, aku minta dengan penuh hormat agar Anda jangan pikirkan pikiran Anda yang juga sudah pusing tujuh keliling memikirkan strategi pengenyahan korupsi di negeri ini. Cukup aku saja yang telah mengeluh tanpa lelah. Karena, hanya aku yang pantas begitu karena aku cuma rakyat melarat nan jelata.
Wahai para penguasa negara, aku yakin dan percaya, Tuan bisa memberantas korupsi hingga akar dan inti korupsi! Dengan kedua tangan Tuan yang kebak kuasa, maka koruptor pasti bertekuk lutut dalam cengkeraman Tuan. Dengan kedua kaki Tuan yang juga kuasa mengangkangi pelosok negeri ini, maka mudah saja bagi Tuan berlarian memburu koruptor di segala penjuru bumi. Dengan mulut Tuan yang bersuara lantang, berbuih, berbusa, berbisa, dan berwibawa, maka amat enteng bagi Tuan menggertak, menghardik, menantang, melawan, dan melumat koruptor.
Wahai para pengadil negeri, aku yakin sekali Yang Mulia pun mampu menutup hidup koruptor hingga buntu! Sebab, kedua tangan Yang Mulia telah dipersenjatai pistol, revolver, senapan laras panjang, dan palu keadilan untuk menyemayamkan koruptor ke dalam prodeo hingga kuburan sekalipun. Kedua kaki Yang Mulia juga lebih gesit bergerak-gerik ke sana-sini karena memang kakimu kuat menjelajah hingga ujung negeri. Suara dari mulut Yang Mulia juga lebih keras, lantang, dan melengking karena mulutmu bisa menyalak, menggonggong, dan mengendus bagai anjing pemburu. Pikiran Yang Mulia pun telah diasah berulang-ulang dalam prajabatan, penataran, up grading, seminar, diklat, workshop, dan gempuran pengalaman dalam tugas keseharian.
Kini, terserah kalian berdua, wahai penguasa dan pengadil negeri Nusantara. Bagi penguasa negara yang memegang hak prerogatif, koruptor itu bisa kalian politisasi, abolisi, amnesti, maupun grasi. Atau malah kalian amini putusan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Bagi pengadil, koruptor bisa kalian putuskan dengan deponir, bebas dari tuntutan hukum, maupun bebas murni. Atau malah kalian hukum dengan denda, dipenjara biasa, seumur hidup, hingga pidana mati.
Apapun yang akan Tuan-tuan lakukan, aku memohon satu saja. Tolong amini doa spesial yang kupanjatkan kepada Tuhan khusus bagi koruptor negeri ini. Doaku begini, "Tuhan yang Maha-adil, tolong cabutkan nyawa koruptor sekarang juga karena aksinya telah membangkrutkan negara kami tercinta. Tuhan yang Mahakuasa, tolong reganglah nyawa mereka dengan keadaan tubuh ndelosor di reruntuhan tanah longsor, hidung kejongor, darah tlocor-tlocor dan terus bocor sampai tekor. Amin."