Mohon tunggu...
Saiful Effendi
Saiful Effendi Mohon Tunggu... -

Anak rantau yang mencari jalan menuju pulang.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rakyat Melihat..

23 November 2011   04:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:19 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pagi yang cerah, sinar mentari yang selalu terbit di timur, kokok ayam dan kicau burung menghibur persada bumi pertiwi, iringi pembangunan yang telah berkembang di tanah air kita yang kian megah. Rakyat melihat! bahwa kini langit kian kelabu di setiap sudut ibukota, sinar mentari mulai redup, rembulan pucat pasi tak berseri, seperti potret para petinggi dan pejabat yang luntur kewibawaannya. Air sungai telah di cemari oleh ulah tangan-tangan mereka, air yang memberi kehidupan untuk rakyat kecil, dan mereka semakin serakah, hingga bencana tertuai di negeri pertiwi.

Sumpah serapah keluar dari pengamen jalanan, keluh kesah dan ratapan menjadi selimut bagi buruh dan kuli. Bila rakyat jelata bicara, membuat bising dan repot telinga mereka. Tapi bila rakyat itu bisu, itu hening seperti kuburan, lalu apa gunanya mencari ketenangan di kuburan? Rakyat melihat! bahwa Negara ini adalah Negara pejabat dan pegawai, Kebudayaan kaum priyayi dijaman dulu. Yang diberi tambal sulam dengan apa? Khayalan yang semu.

Bagaikan para juragan di jaman tuan tanah dan para makelar, maka pangeran baru gagah bersekutu dengan para cukong asing. Berdasi dengan cerutu impor di tangan dan sebuah kekuatan distribusi. Di sana terlihat para pedagang pribumi berjiwa prihatin yang hanya bisa menjual jasa atau menjadi tukang kelontong, apa boleh mereka menjadi orang kaya? Tetapi ternyata hanya mengambang kedudukannya di atas awanpanas. Asap-asap cerutu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, adalah sebuah naluri dari kebudayaan pejabat dan pegawai.

Bagaikan seekor bison, pejabat menguasai semua rumput dan dedaunan. Kebutuhan selalu dibina dan disanjung, tetapi mobilitas masyarakat selalu dikorbankan. Hidup mereka menjadi lesu dan berhenti dari kebahagiaan duniawi. Ketenangan selalu di jaga, tetapi rakyat masih selalu tegang dan terkekang, dan hidup menjadi murah tanpa ada pilihan.

Rakyat melihat! Bahwa didalam peradaban modern sekarang; filsafat, hati nurani, kasih sayang mati, selalu diganti. Kemodernan mereka yang memiliki banyak pengetahuan, namun rakyat masih juga hidup dalam kebingungan. Peradaban modern mereka, tidak lagi memikirkan hati nurani dan bagaimana menggunakannya. Dan, penghayatan hidup pun selalu dikekang, diganti dengan hiburan dan orkes dangdut. Kepatuhan diutamakan, kesangsian dianggap durhaka, dan pertanyaan dianggap pembangkangan terhadap sikap yang prihatin. Pembodohan bangsa terus terjadi, karena kejujuran selalu di curigai siang dan malam.

Rakyat melihat! Bison-bison telah menulis hukum dengan tinta kemunafikan, mereka berdiri tegap dengan wajah angker dan perkasa, tanpa dapat diperiksa, tanpa dapat dituntut, tanpa bisa diadili, selalu terbuka dijaman rusak ini. Rakyat bertanya! apakah ini merupakan gambaran kesejahteraan rakyat dari bangsa yang mulia? Yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan? Apakah ini juga bagian yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa?

Rakyat melihat! Bahwa bison-bison menjelma menjadi tyrex-tytex. Mereka dapat menjadi setinggi monas, bahkan gunung. Tyrex-tyrex yang masuk ke laut melahap semua ikan, Tyrex-tyrex melahap semua pasir dan kayu-kayu hutan, melahap tiang listrik, tiang telepon. Meminum minyak mentah, menghisap cengkeh, mereguk kopi, coklat, bagai pemulung di mayat saudaranya sendiri.Tyrex-tyrex ini akan selalu berkembang biak, selalu lapar, rakyat hanya kebagian ’hadiah’ lumpur yang dikirimi keperumahan mereka.

Yang selalu merasa terancam, dengan wajah yang angker seperti angker bir yang selalu bikin mabuk. Dengan jalan sempoyongan menghentak-hentakkan kaki mereka. Maka, Tyrex yang satu melotot pada tyrex yang lain, matahari akan menyala bagaikan kawah candradimuka, bumi menjadi retak, kering dan gersang. Alam protes dengan kemarau yang panjang, hujan yang lebat, banjir, dengan gempa yang menghentak menghantar tsunami. Dan Tyrex-tyrex pun mulai kelaparan lagi, mereka saling curiga mencurigai. Lalu Tyrex akan datang kekota menghabiskan semua gula, jagung, beras. Tak peduli apa yang mereka jumpai disana, mereka akan memakan karyawan dan pegawai. Mereka akan memakan gedung dan jembatan, toko-toko, pasar tradisional, dan swalayan, sekolah-sekolah, mesjid-mesjid dan tempat peribadatan, pemukiman penduduk, bantuan kemanusiaan, bahkan barak sekalipun, Semua hancur, sayang....!

Rakyat melihat. Bahwa kiamat telah terjadi di negri tercinta, kiamat moral dan etika dengan hati nurani yang gersang. Maka sekarang telah terjadi, muncul para jargon-jargon terdakwa yang dibalik jeruji besi masih sempat tersenyum dengan manisnya. Dan Tyrex-tyrex pun saling bertarung.

Rakyat melihat! Pemerintah di goyang, dihujat, dimaki, oleh mereka yang belum puas. Akankah mereka akan selalu dan terus begitu? Tentu tidak! Marilah pemimpin-pemimpin dan cendekiawan bergotong royong. Bantulah bersama, menghapus noda dan dosa negeri ini. Rakyat tidak butuh rekayasa, perdebatan, balas dendam, saling mejatuhkan. Rakyat butuh kehidupan sejahtera, aman, tentram dan damai, dengan senyum manis si Hachi. Marilah bersatu membangun negeri ini kembali, karena rakyat melihat dan tahu semua ini. Contohlah si Hachi si lebah muda, yang selalu menolong dari segala prahara kehidupan duniawi yang pahit menjadi manis, dan yang manis menjadi senyum kedamaian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun