Mohon tunggu...
Atika Hayati
Atika Hayati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pejuang pena

Tak ada yang mustahil jika Allah telah berkehendak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Maraknya Dispensasi Pernikahan Dini, Salah Siapa?

22 Januari 2023   21:02 Diperbarui: 22 Januari 2023   21:09 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ponorogo Jawa Timur, Ratusan anak mengajukan dispensasi penikahan atau menikah pada usia dini di pengadilan agama setempat. Mereka mengajukan dispensasi dengan alasan tidak mau meneruskan sekolah, selain itu kebanyakan dari mereka juga sudah hamil di luar nikah.

Tercatat di Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo sebanyak 198 permohonan pengajuan dispensasi perkawinan usia anak sepanjang tahun 2022. Akan tetapi delapan dari jumlah tersebut tertolak permohonan dispensasinya dikarenakan tidak ada unsur yang mendesak. Sedangkan untuk 106 lebih lainya, Pengadilan Agama menyarankan agar pemohon untuk melanjutkan sekolah dikarenakan mereka masih pelajar tingkat SMP atau masih berusia 15 tahun. (Kompas.com).

Ironisnya dari berbagai alasan nikah dini tersebut, hamil diluar nikah menjadi alasan terbanyak. Karena kasus ini petugas Pengadilan Agama setempat menghimbau kepada orang tua dan guru, untuk lebih ketat dalam menjaga dan mengawasi pergaulan anak - anak agar mereka terhindar dari paksaan nikah dini.

Kasus maraknya permohonan dispensasi pernikahan dini bukanlah hal yang pertama kali. Ketika masa pandemi lalu, banyak kasus serupa di berbagai daerah yang jumlahnya mencapai hingga ratusan. Tentu saja kita sangat miris mendengarnya, ini seperti fenomena gunung es yang pastinya masih banyak yang mengajukan dispensasi pernikahan karena "kecelakaan" yang tidak muncul ke permukaan. Kasus ini membuktikan betapa rusaknya sistem pergaulan generasi pada saat ini.

Mengapa ini Semua Bisa Terjadi?

Membahas terkait pernikahan anak usia dini kerap sekali menjadi sorotan. Hal ini tak lepas dari kebijakan pemerintah yang telah dirumuskan, menganai Pendewasaan Usia Pernikahan (PUP). Dirujuk dari kebijakan tersebut, usia ideal minimal menikah untuk laki -- laki adalah 25 tahun sedangkan untuk perempuan adalah 20 tahun. Sayangnya kebijakan tersebut luput dari perhatian dan tidak sejalan dengan stimulus yang dapat membangkitkan syahwat pada remaja. Seperti yang diketahui pengaruh dari pergaulan bebas dan lingkungan dapat memberikan stimulus pembangkit syahwat saat usia muda.

Apalagi pada era digital seperti saat ini, semua orang sangat mudah mengakses berbagai informasi maupun konten visual tak terkecuali oleh para remaja. Sehingga tak anyal jika kemudahan tersebut, mereka dapat dengan mudah mengakses konten pornografi dan pornoaksi yang sangat mempengaruhi pemikiran dan perilaku bebas mereka. Hal ini pada akhirnya menjadi boomerang terkait PUP, sehingga berakibat maraknya pengajuan dispensasi pernikahan akibat hamil di luar nikah.

Mungkin benar prakteknya PUP ini dibarengi dengan edukasi, salah satunya mengenai generasi berencana, tetapi prespektif liberal di dalam program ini tidak sama sekali menyentuh akar dari persoalan. Arahannya terkait seks aman justru melahirkan kesan hidup bebas, para generasi seolah bebas dalam menentukan cara aman dalam melampiaskan syahwatnya. Na'udzubillah!

Konsep seks aman ini secara tidak langsung telah menfasilitasi para remaja larut dalam pergaulan bebas dan seks bebas asalkan ujungnya tidak mengalami kehamilan. Cara berfikir seperti ini tentu saja tidak akan berorientasi pada upaya mewujudkan generasi yang sehat maupun berkualitas. Akan tetapi, konsep liberal ini akan mengiringi langkah generasi menuju kehacuran.

Bagaimana Islam Memandang?

Dalam kitab Nizham ijtima'i, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan bahwa pernikahan merupakan pengaturan hubungan antara unsur kelelakian (adz-dzakuurah/maskulinitas) dengan unsur keperempuanan (al-unuutsah/feminitas). Sehingga dengan kata lain, pernikahan merupakan pengaturan interaksi antara dua jenis kelamin dengan aturan khas.

Berbeda halnya dengan sistem sekuler, Islam justru menganjurkan kepada para pemudanya yang telah mampu untuk menikah. Rasulullah saw. bersabda, "Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa karena puasa adalah perisai baginya." (Muttafaq 'alaih).

Di tengah derasnya arus gaya hidup yang permisif dan liberal, banyak diantara generasi kita yang ikut terseret dalam pusaran arus tersebut. Baik itu melalui media, hedonisme yang hadir dalam ruang interaksi mereka. Berbagai stimulus tak lepas meneror mereka baik berupa film, syair lagu, hingga iklan yang bahkan dapat mengontrol pikiran generasi yang sedang bergejolak di usia muda, sehingga pada akhirnya teraktualisasi secara liar dan tanpa batas.

Anehnya, sebuah pernikahan yang sejatinya adalah solusi atas munculnya keinginan dalam memenuhi tuntutan naluri nau' (ketertarikan kepada lawan jenis), justru dianggap menjadi masalah. Pernikahan memang bukan suatu fase yang mudah, akan tetapi dengan memaksimalkan peran setiap elemen, akan terwujudnya mental yang siap untuk memantaskan diri dalam memasuki jenjang merajut rumah tangga. Apakah ini dapat terwujud?


Butuh Sistem yang Menjaga

Tentu dibutuhkan kerjasama dari berbagai elemen, baik dari institusi terkecil yakni keluarga. Dalam Islam, keluarga sangat berperan besar dalam menyiapkan pendidikan anak yang sesuai fase pertumbuhan usia mereka. Keluarga akan memaksimalkan pengasuhannya sesuai gender yakni anak laki -- laki disiapkan sebagai pemimpin (qawwam) dan anak perempuan sebagai seorang ibu. Hal ini akan membentuk pemahaman terkait kosekuensi hukum pada setiap fase kehidupan manusia, dimulai dari usia dini, mumayiz, prabalig, balig, hingga menikah.

Selain itu pendidikan ini juga didukung oleh kurikulum pendidikan yang Negara terapkan secara formal. Dimana kurikulum tersebut dapat membentuk kepribadian yang menselaraskan pola pikir dan pola sikap. Selain itu juga bermuatan skill penguatan karakter pemimpin bagi laki -- laki dan karakter keibuan bagi perempuan. Hal ini demi mendukung kesiapan para pemuda dalam menyambut usia pernikahan.

Di dalam islam Negara sangat berpengaruh besar dalam menyiapkan warganya dalam memasuki jenjang pernikahan. Jika yang ditakuti saat ini adalah kurangnya ilmu, maka Negara harus mengedukasi mengenai hukum terkait aspek berumah tangga, seperti membangun hubungan suami istri, pola asuh, pemenuhan gizi keluarga, ekonomi keluarga, dll. Inilah yang tidak ditemui dalam sistem yang diterapkan saat ini. Sehingga mengakibatkan berbagai kekhawatiran untuk menapaki jenjang pernikahan. Padahal, gejolak syahwat begitu sanagt besar, tetapi Negara malah melakukan pembatasan usia pernikahan. Gak nyambung bukan?

Apalagi berbagai perspektif negatif muncul terkait pernikahan, inilah problem masa depan negri -- negri muslim saat berkiblat pada pemikiran barat. Bukan hal yang tidak mungkin jika resesi seks akan melanda negri -- negri muslim. Maraknya kasus permohonan dispensasi pernikahan di kalangan remaja seharusnya menjadi bahan perenungan ulang kebijakan secara sistem. Di tengah problem syahwat yang meneror dan mengontrol generasi, upaya terkait pembatasan usia pernikahan butuh revisi sistem. Dimana untuk mewujudkan generasi yang berkualitas yang sesuai dengan fitrah manusia.

Sehingga, Negara harus berperan dalam menyiapkan mental dan kesanggupan para pemudannya untuk menikah. Akhirnya Negara wajib memadamkan pemicu syahwat di ruang-ruang umum, seraya aktif melakukan edukasi pernikahan sesuai syariat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun