Mohon tunggu...
Safrizal ArdanZuhair
Safrizal ArdanZuhair Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Walisongo

Mulailah dari hal kecil kemudian seiring berjalannya waktu nikmatilah suatu hal-hal kecil itu menjadi sebuah kenayataan yang besar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pola Didik Orangtua yang Kekinian Berdampak pada Pola Interaksi Anak yang Serba Virtual

4 Mei 2020   13:21 Diperbarui: 7 Mei 2020   10:22 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

       Di era sekarang banyak terjadi perubahan sosial secara besar-besaran yang diakibatkan oleh globalisasi dalam bidang apapun salah satunya teknologi, yang sekarang ini lagi gencar-gencarnya bersaing demi memikat hati penjualnya. Karena dengan cara inilah trend atau populer khususnya barang-barang elektronik yakni smarthphone, itu harganya dapat melambung jauh apabila minat masyarakat terhadap barang tersebut tinggi. Hal ini menyebabkan perang pasar yang dimana produsen-produsen smarthphone meningkatkan kualitas produknya. Surplus ini tidak luput dari para konsumen  yang menganggap smarthphone itu sebagai barang primer wajib dibawa kemanapun. Terkadang jika smarthphone lupa dibawa serasa hidup itu selalu diselimuti rasa khawatir, karena jika terjadi hal yang tidak mengenakan dijalan, maka jalan keluarnya dengan memberi kabar ke keluarga atau pun kerabat dekat.

      Smarthphone ini telah menjangkau semua umur dalam status penggunaanya, hingga anak kecil sekarang pun banyak yang sudah mahir dalam mengoprasikan smarthphone, karena orang tuanya yang memberikan smarthphone sebagai hadiah ataupun reward jika anak tersebut rankingnya bagus, namun ada alasan lain dari pemberian smarthphone kepada anaknya salah satunya agar anankya tidak rewel atau orang tua itu mempunyai rasa kasian terhadap anaknya karena teman-temannya telah mempunyai smarthphone. Jika dilihat dari pola didiknya terhadap anak hal ini boleh-boleh saja asalkan tetap pada pengawasan orang tuanya, jika tidak akan terjadi gangguan pada pola perilaku anak ataupun kehidupan sosialnya. Bisa saja di dalam dunia mayanya ia aktif berkomentar dan mengungkapkan pendapatnya terhadap suatu postingan yang diposting oleh media sosial.

       Namun terkadang banyak netizen yang berkomentar dengan kata-kata yang tidak mengindahkan tutur kata baik, melainkan dengan perkataan yang tidak etis dan tidak pantas untuk diposting. Hal ini tidak sadar, jika anak mengetahui hal-hal yang tidak diketahuinya maka akan bertanya kepada orang tua apakah itu perkataan yang baik atau sebaliknya ataupun kata-kata tersebut sering trending sebagai perkataan yang formal diucapkan namun konotasinya tidak etis. Maka dari itu dekadensi moral mulai menyerang milenial dan menimbulkan kesenjangan dibidang adab tata perilaku dalam berinteraksi sesama manusia. 

       

       Kata dekadensi moral menurut Bartens (2000), menjelaskan dekadensi moral adalah tindakan seseorang yang selalu melakukan tindak laku buruk. Dekadensi moral tidak merajuk pada teori keutamaan. Teori keutamaan yang dimaksud yaitu: kebijaksanaan, kejujuran, keadilan, dan kerendahan hati. Bentuk dekadensi moral yang melanda negara kita adalah dekadensi akhlak. Bentuk dekadensi akhlak yang menjadi dampak luas ialah dekadensi kejujuran. Dekadensi kejujuran menyuburkan praktik kejahatan yang menggerogoti dan kehidupan seseorang dari pucuk ke akar, dari hulu sampai ke hilir seperti yang dikemukakan oleh (Hazhari, 2015).

       

        Dari definisi dekadenis moral di atas dijelaskan bahwa seyogyanya kesenjangan moral atau etika itu berdasarkan tindakan perilaku buruk yang bisa saja menjadi suatu kebiasaan dalam sehari-hari yang jelek, jadi ketika kita tertimpa bencana sekecil apapun terkadang kata-kata yang tidak etis itu muncul. Walaupun sekarang disebagian masyarakat menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa didengar ditelinga kita, ataupun menjadi komentar netizen tentang suatu postingan yang mengejutkan atau tidak mengenakan untuk dilihat. 

       Dan tidak sadar generasi milenial yan dibawah umur juga menggunakan media sosial, karena hanya ikut-ikut temannya, entah tujuannya sebenarnya hanya ikut-ikutan atau hal yang lain. Banyak ditemui fenomena yang dibilang "cringe", sebutan untuk hal yang tidak sedap dipandang atau bisa dibilang mirislah. Contohnya seseorang yang tidak sadar membuat "daily activity" liburannya di suatu tempat dan ia menguploadnya di instagram sampai storynya menjadi titik-titik kecil, karena saking banyaknya foto yang di upload.

       Hal ini dinilai menimbulkan kecemburan sosial akibat individu yang hanya mementingkan urusan prbadinya sendiri, dan ia hanya ingin dianggap keberadaannya oleh orang yang melihat postingannya. Atau kemungkinan ia memang kurang perhatiaan dari orang tuannya yang sibuk bekerja. Pola didik anak yang semacam ini terjadi di zaman modern ini, orang tua merasa lega jika anaknya tidak rewel, makanya salah satunya dengan diberi kewenangan memliki smarthphone. 

Jika dilihat dari psikis anak didapati, bahwa masa balita sampai kanak-kanak itu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, jadi jika mereka dibebaskan berselancar di sosial media, kemungkinan ia akan merasa senang, dan kemudian kecanduan smarthphone. Di masa anak-anak pada masa sekarang ini, seharusnya orang tua lebih memperhatikan gerak geriknya dalam menggunakan sosial media, agar tidak salah pergaulan dan persepsi yan menyesatkan seperti hal-hal berbau tabu yang belum boleh dimengerti oleh anak-anak.

       Walaupun jika diajarkan beberapa komponen tabu tersebut namun dengan batasan-batasan yang telah mudah dimengerti anak, semisal jika terdapat kamar mandi umum yang bersimbolkan gambar orang dengan warna biru itu untuk laki-laki, dan simbol orang memakai rok dengan warna pink itu untuk toilet perempuan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun