Tidak dapat dipungkiri, perkembangan kota selalu menjadikan pohon sebagai korban. Pohon bukan prioritas utama untuk dipertahankan jika bertemu dengan kepentingan warga yang lebih besar, seperti transportasi. Tapi, ada kompensasi akan ditanam pohon di tempat lain dengan jumlah dua kali lebih banyak atau lebih.
Banyak kasus penebangan pohon yang sudah tua dan menjadi bagian dari lingkungan untuk perubahan wajah kota (beautification), yang tidak berdampak pada kepentingan warga secara signifikan. Hal ini yang disesalkan. Apakah tidak ada rancangan yang lebih apik tanpa menebang pohon? Walaupun ada kompensasi penanaman pohon di lokasi yang lain, rasanya sulit diterima, jika penebangan atau pemindahan pohon dengan alasan desain.
Dalam pembentukan awal sebuah kota, selalu ada pohon yang ditanam di ruang terbuka (tempat warga berkumpul) --di Jawa disebut alun-alun. Ia merupakan bagian dari kehidupan "kota", tidak hanya dari sisi sentimental tapi dari banyak sisi, terutama sisi lingkungan, seperti pohon beringin di Taman Jam Gadang di Bukittinggi yang telah berusia puluhan tahun, ditebang dan berganti desain taman. Pohon merupakan saksi pertumbuhan kota dari masa ke masa.
Perlu Rambu-Rambu
Perlu rambu-rambu bagi warga dan juga bagi pemerintah kota untuk mengantisipasi penebangan pohon. Dimulai dengan pendataan, yang meliputi segala aspek, sehingga apabila pemerintah kota perlu menanam, memangkas, memotong, atau memindahkan pohon, warga mengetahui alasannya. Kemudian dibuat kebijakan-kebijakan yang mengatur, sehingga pohon dapat dipertahankan dan dijaga, dan ini menjadi landasan bagi kebijakan yang berhubungan dengan penebangan pohon dari waktu ke waktu.
Perencanaan dan perancangan kota yang berhubungan dengan penebangan dan pemindahan pohon seyogianya disosialisasikan terlebih dahulu ke warga, sebelum pohon besar itu ditebang. Komunitas lingkungan memegang peranan penting untuk mengawasi dan memantau agar kebijakan tentang penebangan pohon di perkotaan berjalan baik.