Mohon tunggu...
safira mirza rahman
safira mirza rahman Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa PKN STAN

Mahasiswa PKN STAN

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ini Resiko dan Kebijakan Kredit Macet Saat COVID-19

29 Juni 2020   08:00 Diperbarui: 29 Juni 2020   08:02 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini seluruh dunia sedang menghadapi kasus kesehatan global yaitu pandemic virus corona. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini pemerintah sedang kesulitan memikirkan bagaimana cara agar ekonomi terus maju disaat pandemic.

Keberadaan virus ini menjadikakan tatanan ekonomi menjadi kacau balau karena kedatangan virus corona yang tidak dipresiksi sebelumnya. Serta hal ini menjadikan beberapa bidang usaha menjadi terhenti.

Salah satu masalah yang dihadapi adalah kredit macet. Apa itu kredit macet? Kredit macet adalah keadaan dimana debitur tidak dapat membayar hutang atau kewajibannya kepada kreditur tepat pada waktunya.

Lalu penyebab dari kredit macet dapat berasal dari faktor internal yang dapat berasal dari penyimpangan dari pelaksanaan kredit, atau kurangnya informasi tetang kredit macet  dan juga faktor eksternal contoh penyebabnya adalah kegagalan usaha dari debitur, dan menurunnya pertumbuhan ekonomi.

Jika digolongkan untuk saat ini maka penyebab dari kredit macet adalah melemahnya pertumbuhan ekonomi akibat dari pandemic virus corona. Bank dalam skala kecil juga beresiko terkena kredit macet karena tetap memberikan pinjaman untuk debitur. Hal ini dapet mengakibatkan kredit macet karena pendapatan masyarakat berkurang karena kehilangan pekerjaan mereka karena kebijakan “Lockdown” yang mengakibatkan banyak perusahaan terpaksa mem-PHK karyawan untuk mengurangi cost of production mereka. Lalu untuk pedagang kaki lima juga sangat terdampak karena mata pencaharian mereka tergantung dari lalu lalang masyarakat yang lewat, dengan keadaan Lockdown maka banyak orang yang melakukan WFH sehingga hal ini akan berdampak pada pekerjaan pedagang kaki llima. Akibat keputusan ini banyak pihak yang mengalami pengurangan pendapatan bahkan kehilangan pendapatan sehingga terpaksa untuk meminjam uang dari bank.

Dan biasanya mereka masih punya hutang yang belum dibayarkan karena untuk memenuhi kebutuhan hidup maka mereka hutang bank lagi. Hal inilah yang dapat membuat resiko kredit macet menjadi lebih besar.

Lalu bagaimana cara penyelamatan agar tidak terjadi kredit macet? Jawabannya adalah ada 5 cara yang dapat dilakukan yaitu Recheduling (bank memberikan keringanan kepada nasabah), Reconditioning (Bank melukan perubahan persyaratan agar meringankan nasabah), Restructuring (Bank merestruktur menambah atau mengurangi kredit atau ekuitas pemilik), Kombinasi dari Recheduling, Reconditioning, dan/ Restructuring, yang terakhir adalah Penyitaan Jaminan.

Pada kenyataannya yang dapat dilaksanakan adalah Recheduling yang dilakukan oleh bank agar nasabah mendapatkan keringanan ditengah pandemic Covid-19 yang menyebabkan kehilangan pendapatan mereka.

Bedasarkan POJK N0.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional, Pemerintah memberikan perlakuan khusus kepada debitur, terutama pelaku UMKM yang mengalami kesulitan untuk membayar kewajibannya. Lalu melalui Perppu No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 Pemerintah memberikan kebijakan relaksasi kredit dan berbagai macam stimulus untuk menjaga stabilitas perbankan ditengah pandemic yang menyebabkan pergerakan ekonomi menurun.

Dengan memberikan relaksasi perkreditan maka hal ini secara tidak langsung juga akan membangun perekonomian.

Terdapat 4 kebijakan pokok yang diatur dalam POJK N0.11/POJK.03/2020 yaitu meredam volatilitas di pasar keuangan dalam menjaga kepercayaan investor dan stabilisasi pasar, memberikan keringanan bagi sector riil dan informal untuk dapat brtahan di tengah pandemic corona melalui relaksasi restrukturisasi kredit/pembiayaan.

Keempat kebijakan tersebut dapat memperkuat sekor perekonomian dalam dunia usaha dan saling melengkapi dengan kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) ujar Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah.

Pemerintah perlu memberikan kebijakan lain terkait pemberian kelonggaran kepada pelaku usaha karena hal ini dapat berakibat pada kesanggupan pembayaran kewajiban pelaku usaha yang dapat berpengaruh pada perekonomian Negara.

Bedasarkan FAQ yang diselenggarakan OJK terkait secara umum restrukturi kredit meliputi

  • Penurunan suku bunga
  • Perpanjangan jangka waktu
  • Pengurangan tunjangan pokok
  • Pengurangan tunjangan bunga
  • Penambahan fasilitas kredit / pembiayaan
  • Konversi kredit / pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara

Semua kebijakan tersebut diserahkan kepada bank dan sangat bergantung pada identifikasi bank atas kinerja keuangan debitur maupun penilaian atas prospek usaha dan kapasitas membayar debitur yang terdampak pandemic covid-19. Jangka waktu restrukturisasi kredit sangat bervariasi bergantung pada assesmen bank terhadap debitur dengan jangka waktu maksimal 1 (satu) tahun.

Lalu terdapat kebijakan pemerintah lainnya yaitu penurunan suku bunga acuan, meningkatkan intensitas triple intervention untuk menjaga nilai tukar rupiah, menurunkan giro wajib minimum, memperpanjang tenor repo surat berharga Negara (SBN), serta memberikan kelonggaran penilaian kualitas kredit dan aturan restrukturisasi kredit.

Bank Indonesia juga mengeluarkan stimulus dengan menurunkan suku bunga acuan menjadi 4,25% dari yang sebelumnya sebesar 4.5%. dengan deminikan risiko cost of fund yang dikeluarkan oleh bank menjadi lebih rendah dan hal ini bisa merangsang pertumbuhan kredit tersebut. Namun dengan kebijakan ini tidak sepenuhnya dapat menaikkan pertumbuhan kredit karena mengingat segmentasi dari nasabah itu sendiri karena beberapa perusahaan masih menahan agar tidak mengajukan kredit. Untuk masyarakat individu juga masih menahan untuk melakukan kredit dan lebih memilih untuk mengurangi konsumsi dimasa pandemic covid-19 saat ini.

Menurut OJK angka kredit macet atau Non Performing Loan (NPL)  Perbankan di Indonesia pada April 2020 sebesar 2,89% sedangkan pada Desember 2019 sebesar 2,53% yang artinya selama 4 bulan ini angka Non Performing Loan Perbankan naik sebesar 0,36%. Seharusnya hal ini menjadi berita baik mengingat korelasinya dengan penyaluran kreditnya namun kembali lagi bank juga masih menahan untuk memberikan penyaluran kredit karena situasinya belum efektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun