Mohon tunggu...
Muhammad Arif
Muhammad Arif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Author Wannabe

Cuma pengen nulis apa yang pengen aku tulis. Sastra Inggris UNDIP angkatan 2019

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Seorang Anak Seharusnya Memandang Video Game?

9 Juli 2022   11:00 Diperbarui: 9 Juli 2022   11:07 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Jessica Lewis Creative

"Rip, kamu mbok ya belajar, enggak main game terus." Tak terhitung seberapa banyak aku dengar kalimat seperti itu di masa-masa sekolah dulu. Dulu tuh aku sering pakai alasan bahwa main game itu juga termasuk belajar. Bermacamlah alasan yang keluar kala itu. Toh, sekarang aku belajar di jurusan Sastra Inggris, berarti apa yang kubilang ke ortu dulu bukan omong kosong dong.

Eittss! Zaman udah beda, dek. Game-game yang kumainin dulu tu yang padat akan narasi seperti Resident Evil, Ghost Recon Future Soldier, Amnesia, Outlast, dan banyak deh pokoknya. Dibandingkan dengan sekarang, anak-anak hanya pada main Mobile Legends, PUBG, Free Fire, dan game online lainnya. Lalu, apasih bedanya? Kan sama-sama game?

Pertama-tama, coba kita lihat dulu dari aktivitas main game itu sendiri. Di game-game yang kumainkan tadi itu, kita tidak hanya ditempatkan di satu level terus eksplore sampai nemu jalan. Enggak sesimpel itu, ada narasi yang harus kita perhatikan agar tau alur ceritanya, banyak dokumen yang harus dibaca demi paham dengan apa yang terjadi di balik permainan. Dulu itu kalau udah kumpul sama temen, kalau udah bahas tentang game tertentu, pasti ada teori-teori deh. Anggap aja teori Naruto masuk Akatsuki, diri ini yang penasaran udah pasti nyari-nyari dan pengen tau sendiri dong. Dari situlah aku juga banyak memahami kosakata.

Coba bandingkan dengan game-game yang menerapkan sistem Game as a Service (GaaS itu pokoknya game yang kontennya masih akan diupdate secara berkala dan pemasukan biasanya mengandalkan pembelian di dalam game atau yang sering kita dengar sebagai top up). Game as a Service seperti PUBG dan Mobile Legends akan lebih mengutamakan pengalaman bermain dan interaksi antara pemain dengan game. Dengan kata lain, ya, mengorbankan narasi yang dirasa hanya membuang-buang biaya karena tidak perlu. Toh, kalau ada ceritanya pun anak-anak pasti langsung skip.

Aku pribadi adalah tipe orang yang, "Santai harus tetap produktif." Sehingga, semua yang kukatakan di bawah ini sepenuhnya adalah idealku sebagai seorang yang belajar Bahasa Inggris lewat game.

Seperti yang dikatakan di dalam teori akuisisi bahasa, orang dapat menguasai memahami suatu bahasa jika dia menerima eksposur dari bahasa itu sendiri secara berulang-ulang (repetisi). Ambil contoh aku sendiri, berkat dulu suka baca kamus nyari-nyari istilah yang ada di game Half-life, kosakataku makin berkembang. Malah dulu kelas 7 sempet guru Bahasa Inggrisku enggak percaya kalau aku dapat nilai bagus, hanya karena aku pernah tidak mengerjakan tugas sekali.

Bisa diambil kesimpulan, hanya dengan hobi membaca kamus saja dapat menyumbang penguasaan sebuah bahasa pada seseorang. Itulah kekuatan dari eksposur yang aku jelasin tadi. Tapi kembali lagi, seperti yang udah aku jelasin di artikel Kenapa Belajar Bahasa Inggris Itu Sulit, menambah kekayaan kosakata itu ngebosenin.

Berhubung game itu menyenangkan dan dapat menarik hati semua kalangan, bisa banget dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran. Seperti misalnya ada sebuah kata, tidak hanya dilihat sebagai sebuah simbol, melainkan juga sebuah makna. Gampangnya sih, semisal kita ingin mengubah suatu pengaturan, tidak dilihat dari letak tombol-tombol, namun apa yang tombol-tombol itu representasikan.

Udah dapet benang merahnya? Belum?

Jadi, intinya itu, kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu. SD kan masanya bermain, SMP kan ini itu, SMA kan harus mempersiapkan kuliah, Game kan ada untuk relaksasi. Memang betul, semua alasan yang datang itu tidak ada salanhnya. Toh, kita hidup di dunia yang berbeda-beda dengan pemikiran yang beda pula. Namun, waktu adalah hal yang sangat berharga. Mungkin SD, SMP, SMA, bahkan mahasiswa tahun awal masih bisa saja mengabaikan hal ini. Tapi, setelah memasuki paruh akhir, pemahaman akan betapa berharganya waktu datang dengan tiba-tiba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun