Mohon tunggu...
Saeran Samsidi
Saeran Samsidi Mohon Tunggu... Guru - Selamat Datang di Profil Saya

Minat dengan karya tulis seperi Puisi, Cerpen, dan karya fiksi lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Apa dengan Sedekah Laut?

18 Oktober 2018   16:41 Diperbarui: 18 Oktober 2018   16:48 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.yogya-backpacker.com

Ada apa dengan sedekah laut? Yaaah ... laut kan menambah kedahsyatan bencana menambah penderitaan korban bencana. Karena gempa menyebabkan tsunami, gelombang dahsyat laut sampai setinggi lebih dari 10 meter memporandakan apa pun yang dilalui. Bibir pantai sampai ke permukiman yang terjangkau digulung ombak laut, rumah, pepohonan, mobil dihempas menjadi berantakan, mengerikan.

Beda dengan daerah yang jauh dari laut bila gempa melanda dampak kerusakan dan penderitaan tidak dobel seperti daerah yang dekat laut. Sejarah gempa membuktikannya, Aceh, Palu, Donggala, Sigi dan daerah pesisir laut selatan seperti Bantul Yogyakarta, yang pernah dijamah tsunami. Para penduduk di sana harus lebih waspada dan sadar tanggap bencana.

Ooo ... kaya kuwe? Pantas Cilacap digelontor banner dan spanduk untuk membatalkan acara wisata budaya "Sedekah Laut". Dikutip dari Merdeka.com gelaran tradisi sedekah laut masyarakat nelayan di pesisir Cilacap pada Jumat (12/10), menjadi perhatian berbagai kalangan, sebab adanya sebaran foto pamflet yang bertuliskan sejumlah pesan berisi peringatan bencana sebagai azab yang bernada provokatif membuat resah masyarakat Cilacap.

Sebaran itu di antaranya berbunyi, "Jangan larung sesaji karena bisa tsunami", "Sedekah karena Selain Allah Mengundang Azab Looh", "Buatlah Program Wisata yang Allah tidak Murka", dan "Rika Sing Gawe Dosa Aku Melu Cilaka". Ala ... la ... la  njur keprimen?

www.liputan6.com
www.liputan6.com
Walau ada sekelompok orang yang tak  setuju, acara Sedekah Laut tetap dilaksanakan. Bukan hanya kelompok nelayan , Pemkab pun membuat jolen yang ikut dilarungkan ke laut. Dalam prosesi sedekah laut pada Jumat (12/10), sebanyak 10 jolen dari sejumlah kelompok nelayan dan Pemkab Cilacap dikirab dari pendopo kabupaten sebelum dilarung ke laut.

Sedekah Laut juga digelar di  beberapa wilayah dilakukan masyarakat nelayan di wilayah desa masing-masing. Misalnya, kelompok nelayan di Desa Adiraja, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap menggelar tradisi sedekah laut di pantai wisata Sodong yang melibatkan masyarakat adat Banakeling di desa setempat.

Menurut Ketua Forum Umat Islam (FUI) Cilacap, Syamsudin  yang paling dipermasalahkan adalah kata Sedekah, yang berkonotasi dengan 'Sodaqoh' dalam agama Islam. Dia khawatir kata sedekah itu menimbulkan persepsi yang negatif lantaran sedekah laut adalah larung sesaji ke tengah laut. "Saya tegaskan yang kami tolak bukan ritualnya. Karena kita pun menghormati kalau itu memang bagian dari ritualnya kelompok kepercayaan yang lain," Syamsudin menjelaskan kepada Liputan6.com.

Syamsudin juga mengaku tak mempermasalahkan gelaran sedekah laut. Sebab, ada pula kelompok masyarakat yang mengartikan ritual itu sebagai bagian dari ritual ibadah. Hanya saja, ia memperingatkan agar umat Islam tak mengikutinya. Itu termasuk pada siswa sekolah dan guru beragama Islam yang diimbau untuk hadir dalam sedekah laut oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Cilacap.

Untung saja di Cilacap hanya digelontor banner dan spanduk. Di Bantul Yogya kejadiannya lebih seru karena ada pengrusakan. Selain spanduk bertuliskan "Kami menolak semua kesyirikan berbalut budaya, sedekah laut atau selainnya" dan "Cintailah Yogyakarta dengan iman dan amal shalih, tinggalkan tradisi jahiliyah sedekah laut atau bumi." sekelompok orang mendatangi lokasi tradisi Sedekah Laut di Pantai Baru, Ngentak, Poncosari, Srandakan, Bantul.

Menurut keterangan warga mereka datang dengan menggunakan cadar hitam sehingga sulit dikenali. "Mereka minta dibatalkan karena sedekah laut itu syirik dan musyrik, terus bertentangan dengan agama," kata salah seorang warga, Tuwuh (48) yang juga saksi mata saat ditemui wartawan di Pantai Baru, Bantul, Sabtu (13/10/2018).Tuwuh yang bekerja sebagai nelayan ini menceritakan suasana mencekam yang dilihatnya semalam.
"Mereka juga sempat merusak meja dan membanting kursi tadi malam, diobrak-abrik lah pokoknya sekitar 15 menitan," imbuhnya.

Di Banyuwangi, awal Oktober lalu, Bupati Abdullah Azwar Anas berapi-api ketika memaparkan beragam festival di bumi Blambangan. Salah satunya, pergelaran Gandrung Sewu pada 20 Oktober.  Lalu, pada Kamis dini hari, Banyuwangi terdampak gempa 6.4 SR di Laut Bali.

Front Pembela Islam (FPI) di Banyuwangi mengeluarkan surat pernyataan sikap yang langsung viral di media sosial. Surat bernomor 0003/SK/DPW-FPI Banyuwangi/II/ 1440/Tanggal 11 Oktober 2018 itu berisi kecaman terhadap acara Gandrung Sewu yang akan digelar di Pantai Boom, Banyuwangi. "Kegiatan itu akan mengundang semakin banyak bencana di bumi, khususnya di tanah Banyuwangi," kecam FPI dalam surat yang ditandatangani Ketua Tanfidzi Agus Iskandar dan Sekretaris Yudo Prayitno.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun