Tiba-tiba Pak Banjir pun ikut nimbrung walau barusan dari kanmar mandi. Ubel-ubelan sarung, di lehernya terlilit handuk.
"Ah, masa ? Sapa kuwe mau ?" tanya Pak Banjir.
" Dakem! "
" Dakem yang ireng manis keponakane Wa Rakim ?
"Sekaran lain sekali ko, mangklingi. Lenjeh, omongane lo .. lou .. gue-gue, gaya wong Jakartaan. Padahal baru setahun di Jakarta" Lela menceritakan keadaan Dakem.
"Itu yang namanya  korban metropolitan. Ko, baca bukune Moamar Emka Jakarta Under Cover ora ? " Pak Banjir mulai berceramah lagi.
Dalam situasi global di mana budaya dari penjuru dunia bisa diakses dan kemajuan teknologi komunikasi sedemikian rupa, perubahan niscaya terjadi super cepat. Dampaknya bisa positif dan negatif. Jeleknya, perubahan fisik yang kasat mata menjadi ukuran utama. Harta, kekayaan, pulang bawa mobil menjadi kiblat orang yang sukses dan berhasil. Tidak peduli cara memperoleh harta dan kekayaan itu. Halal, atau berlumur dosa.
" Yang  enyong prihatin , yaitu, perubahan budaya dan tingkah laku. Banyak orang yang rumangsa sudah jadi wong metropolitan lalu lupa pada bahasanya sendiri, basa Banyumas. Lalu pakai  lo ... lou, gue-gue, kaya si Dakem  kae! " Pak Banjir terus ngudarasa. Banyak orang jadi gegar budaya. Banyak orang yang sudah merasa intelek tak mau akrab dengan budaya lokal.
Tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil. Pak Banjir, Mbok Banjir dan Lela tertegun, lalu berusaha ngintip dari jendela, mobil siapa yang membunyikan klakson. Ternyata taksi warna hijau kebiruan berhenti di depan rumah Wa Rakim. Membuka pintu taksi, artis Lucinta Luna, eh .. Nikita Mirzani, eeh ... Dakem  yang nyeret troli warna hitam, pakai selop hak tinggi dan kelihatan kalung mas mungil membelit di thonthonya.
" Hemmm ... kae Pak ... Mbok artis Pulang Kampung!" Lela menunjukkan Dakem. Pak Banjir, Mbok Banjir ngekel nahan tawa dengan membekap mulutnya.