Mohon tunggu...
Saeran Samsidi
Saeran Samsidi Mohon Tunggu... Guru - Selamat Datang di Profil Saya

Minat dengan karya tulis seperi Puisi, Cerpen, dan karya fiksi lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Asal Mula Purwokerto, Ibu Kota Kabupaten Banyumas

8 Februari 2018   15:52 Diperbarui: 8 Februari 2018   19:44 7183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak tahun 2016 Hari Jadi Banyumas diperingati setiap tanggal 22 Februari. Sebelumnnya  warga Banyumas memperingati hari jadi berdirinya Kabupaten Banyumas berdasarkan  Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas Nomor : 2 Tahun  1990 yang menetapkan tanggal 6 April  sebagai hari jadi Banyumas. Landasannya adalah pada tanggal 6 April 1582  karena pada saat itu R. Djoko Kahiman diangkat menjadi Adipati Wirasaba VII dengan gelar Adipati Warga Utama II oleh Sultan Pajang Hadiwijaya dan selanjutnya menjadi Adipati Banyumas pertama.

Pada saat bupati Banyumas yang ke-31, Ir. H. Achmad Husein beliau mengubahnya menjadi tanggal 22 Februari. Ceritanya bagaimana dan apa landasannya nanti saja  pada tulisan lain yang  akan membahas soal ini. Kali ini, marilah kita baca kisah tentang ibukota Kabupaten Banyumas yaitu Purwokerto. Bagaimana asal-usulnya dan mengapa Purwokerto menjadi ibukota Kabupaten Banyumas, mari kita simak kisah di bawah ini, sebagai upaya untuk merayakan  Hari Jadi Banyumas yang ke-447. Semoga tulisan ini  bisa menguak sejarah Purwokerto dan sebagai kenangan dan pengetahuan bagi mereka "wong penginyongan" di mana pun berada, baik yang masih tinggal di kampung halamannya atau tengah merantau atau sudah menjadi warga di luar Tlatah Banyumas.

Pagi itu di seputar perempatan Karanglewas Lor agak ke timur dari Pasar Kliwon  ramai sekali. Kendaraan berbagai macam seliweran menjadikan perempatan itu rawan kecelakaan. Mobil pribadi, motor, angkutan pedesaan,  col kota, bus antarkota sampai antarprovinsi seperti dari Jakarta. Maklum inilah jalan pintu masuk ke kota Purwokerto dari arah barat, Ajibarang, yang berhubungan dengan Jakarta atau Bandung, mereka yang hendak ke Purwokerto.

Belum lagi penduduk setempat. Pagi, ketika matahari makin beranjak di timur, semua orang bergegas untuk memulai aktivitasnya, ke kantor, sekolah, pasar dll. Mereka jalan kaki, naik motor, mencegat angkutan kota, naik becak ataupun dokar. Perempatan Karanglewas Lor itu memang tempat transit orang dari luar kota, dari desa, mereka harus berganti kendaraan  bila mau ke kota Purwokerto.

 Neng .. neng ... suara bel dokar, suasana rame  di perempatan itu. "Praketa .... Praketa ... Praketa ... !Mayuh, gagean munggah,   dhela maning mangkat ! Praketa ... Praketa ... Praketa !" teriak tukang dokar ikut membisingkan suasana. "Sing arep neng Praketa, yuh, kiye dhokar jurusan Pasar Pon, Pasar Manis, Alun-alun, Kebondalem njur Pasar Wage!" kusir dokar masih berteriak agar dhokar jadi penuh penumpang.

Begitulah, suasana ini  sekitar empat puluh   tahun lalu di mana dhokar sebagai salah satu moda angkutan umum dari desa ke kota masih eksis dan banyak diminati orang. Para pedagang dari desa yang hendak kulakan ke kota, khususnya ke pasar induk  Pasar Wage memanfaatkan dhokar ini karena murah, nyaman, bisa sampai ke depan rumah. Bukan saja dari arah barat dokar berbondong ke kota, jalur yang tak kalah ramai adalah dari arah timur, Sokaraja.

Sejak dulu memang Pasar Wage merupakan pusat kota. Pusat pemerintahan pindahan dari Ajibarang  sebagai ibukota ya di seputar Pasar Wage. Depan Pasar Wage ada kletheng merupakan sentra berkumpul para pedagang dari mana-mana untuk menggelar dagangan mereka. "Jane, sing benerPurakerta, Purwa kerta, apa Purwokerto?" tanya salah satu penumpang dhokar. "Prakerta, Purwa Kerta apa Purwokerto, kabeh ya bener!" sahut kusir dhokar.

Masih ingat kontroversi papan nama TRAP? Nama Taman Rekreasi Andhang Pangrenan (TRAP) yang dibangun Mardjoko di bekas terminal lama bertulisan Purwa Kerta. Hal ini menimbulkan kritik dan berbagai pertanyaan. Sing bener jane sing endi? Prakerta, Purwa Kerta atau Purwokerto? Bupati Mardjoko waktu itu menamai taman kota itu untuk menghormati leluhur kota Purwokerto yaitu Kyai Kerta.

Di Desa Arcawinangun Kecamatan Purwokerto Timur, di pinggir Kali Pelus ada petilasan berupa tumpukan batu yang menyerupai bekas candi. Konon, itu adalah makam Kyai Kerta. Warga sekitar lalu menamainya Makam Astana Dhuwur Mbah Kerta. Menurut catatan sejarah, reruntuhan itu adalah warisan dari Kadipaten Pasirluhur. Di jaman Belanda, batu-batu yang berserakan di sekitar makam itu dijadikan  pondasi Kali Pelus.

Menurut catatan peneliti sejarah Banyumas, Purwokerto itu berasal dari kombinasi nama kerajaan di pinggir Kali Serayu Purwacarita dan ibukota Kadipaten Pasirluhur Kertawibawa. Perpaduan nama Purwacarita dan Kertawibawa lalu menjadi Purwa Kerta. Dari catatan peneliti dan pemerhati sejarah Banyumas, dokter Soedarmadji, sebenarnya ibukota Kadipaten Ajibarang. Berhubung  Ajibarang sering dipora-pondakan oleh bencana angin buting beliung maka ibukota dipindah ke Purwokerto.

Adipati Mertadireja II bisa disebut sebagai pendiri Kota Purwokerto yaitu pada tanggal 6 Oktober 1832, pusat Kota Purwokerto di desa Peguwon di sekitar Kali Pelus. Namun sayang ibukota Kadipaten Ajibarang umurnya hanya empat tahun. pada 1 januari 1836 Kadipaten Purwokerto digabung dengan Kadipaten Ajibarang dengan ibukotanya di Kota Banyumas.

Kembali ke sebutan Praketa atau Purwokerto. Bahasa Banyumas itu berasal dari bahasa Jawa Kuna jadi semua huruf a ucapannya ya a. Banyumas termasuk  mancanegari, beda dengan bahasa negarigung, bahasa kraton, a diucapkan o. Punika diucap puniko. Yang unik, orang Banyumas gemar menyingkat kata, misal Cilacap jadi Tlacap, Purbalingga jadi Braling, Banjarnegara diucap menjadi Banjar saja. Demikian pula Purwokerto dieja menjadi Prakerta. Lalu, mengapa Purwokerto tidak dibaca Purwakerta? Kalau diucap a nanti dikira kota di Jawa Barat yaitu Purwakarta.

Sekian, selamat berhari jadi yang ke-447, semoga "Tlatah Banyumas" tetap damai, warganya rukun, penuh toleransi, grapyak, cablaka, gotong royong dan  pembangunannya pesat untuk mencapai kesejahteraan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Maklum, sedang memasuki tahun politik, 2018-2019. Amin, ya roballallamin .....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun