Surat dari Praha, sebuah film besutan sutradara muda Angga Dwimas Sasongko membuktikan kebenaran dari kejamnya perpolitikan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965. Uniknya lagi pria yang juga pernah menjadi sutradara film Filosofi Kopi dan Cahaya dari Timur ini mengemasnya secara smoth dan manis bertabur romantisme.
Apa pasal? karena didukung oleh pemain yang benar-benar menghayati dan chemistri semakin terasa hidup dan menggugah. Hal ini bisa dilihat adu emosi yang terjalin antara Laras dengan Jaya, begitupun antara Lastri dengan Jaya. Sungguh membuat perasaan penonton dibuat berkecamuk dengan jalinan asmara mereka.
Sebenarnya film ini diawali dengan kondisi keluarga Laras diujung perceraian. Disaat kondisi tersebut Laras mengharapkan warisan dari Lastri sang ibunda. Namun, sebelum warisan tersebut diberikan Laras harus berjuang untuk memberikan kotak berisi surat kepada Jaya dan tentu saja mendapatkan tandatangan Jaya yang berada di Praha - Cekoslowakia.
Mengapa harus meminta kepada Jaya?
Disinilah premis film mulai terjalin. Laras berusaha mencari tahu ada apa sebenarnya surat dengan keputusan warisan tersebut.
Ternyata, jalinan surat tersebut terkuaklah kedzoliman rezim politik masa 1965. Jaya merupakan mahasiswa yang diberangkatkan oleh Indonesia tercinta dan kuliah disana dengan beasiswa. Bersama empat temannya yang lain semasa itu mereka berangkat untuk belajar di Praha. mereka adalah Mahasiswa Ikatan Dinas Indonesia (MAHID). Namun, pergolakan pergantian orde baru dari orde lama menyisakan satu kisah manis tentang pergolakan PKI. siapa yang menolak PKI dianggap sebagai komunis, padahal mereka yang menolak orde baru sangat nasionalis.
Kisah haru tersebut membuat mereka di deportasi dan tidak memiliki kewarganegaraan. Disinilah sebuah kejamnya politik yang saya maksud di atas. Seorang yang memiliki nasionalis yang tinggi namun karena bertentangan dengan satu pihak penguasa maka dianggap sebagai pembelot.
Jadi ingat pilpres tahun 2014. :'(
Nah, Jaya akhirnya menetap dan menjadi kewarganegaraan Praha. Padahal, dirinya dan tiga orang temannya sangat nasionalis. Bentuk film ini juga mengambil sebuah kisah nyata yang terjadi pada negeri ini.
Selain Praha, sebenarnya masih ada juga warga negara Indonesia yang dideportasi ke wilayah lain semisal Suriname. Bahkan mereka yang di Suriname melabelkan nama mereka dengan nama Jawa khas Indonesia.