Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Politik Identitas (2): Kelompok Radikal sebagai Subjek dan Objek

24 Maret 2023   21:26 Diperbarui: 24 Maret 2023   21:38 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: paramadina-pusad.or.id

(Pada tulisan sebelumnya sudah saya terangkan bahwa) Anies Baswedan ketika memberi pengantar buku "Army of Roses" karya Barbara Victor edisi bahasa Indonesia terbitan Mizan, mengungkapkan dua kerangka analisa dalam memahami fenomena tindakan teror. Yaitu (1) tindakan teror merupakan hasil dari internalisasi nilai akibat penafsiran ayat-ayat yang ada dalam kitab suci, yang kemudian disebut sebagai kerangka kultural, dan (2) tindakan teror lebih merupakan hasil dari interaksi kalkulatif antara pelaku teror dengan sasaran teror, yang disebut sebagai kerangka rasional.

Bukan hanya dalam kasus terorisme, bahkan dalam memandang kelompok-kelompok (yang sesungguhnya bukan teroris) progresif seperti FPI, dan yang lebih diwaspadai yaitu HTI, dua kerangka ini selalu dipakai walaupun secara tak disadari.

Jika kita membaca tulisan-tulisan yang menyorot kelompok-kelompok serupa, maka kerangka yang dominan dipakai adalah kerangka kultural. Bagaimana kelompok-kelompok itu hadir sekalian dengan aksi-aksinya?

Apalagi jawabannya kalau bukan karena penafsiran atas teks keagamaan secara tekstual, puncaknya adalah menerapkan syariat Islam di Indonesia. Sedang menerima sistem demokrasi dianggap sebagai produk manusia, apalagi datangnya dari barat, merupakan hal yang bertentangan dengan hukum syariat yang datangnya dari Tuhan.

Maka untuk mewujudkan cita-cita ini, kelompok Islam progresif ini melakukan upaya-upaya yang bisa jadi untuk sementara waktu masih dalam jalan demokrasi, tetapi jika mereka semakin menguat maka mereka akan memakai kekerasan dalam mewujudkannya.

Upaya-upaya ini dilakukan dalam gelanggang politik. Tampilnya mereka membawa aspirasi di balik jubah agama disebut sebagai politik identitas. Padahal literatur-literatur mengenai politik identitas menunjukkan bahwa politik identitas tidaklah khas agama, ia bisa berjubah ras seperti politik identitas kulit hitam di Amerika, ia juga bisa berjubah ideologi tertentu seperti Marxisme, bahkan nasionalisme sekalipun.

Hanya saja dalam kasus Indonesia, pasca reformasi 1998 dan bangkitnya demokrasi, politik identitas selalu berjubah agama. Para pengamat sadar bahwa lahirnya politik identitas bermula dari rasa ketidakadilan atas perlakuan pemerintah. Namun dari sisi pembacaan, fenomena kelompok-kelompok Islam ini selalu dibaca dalam kerangka kultural.

Akhirnya, dalam menciptakan resolusi, yang dipandang perlu untuk diperbaiki adalah pemahaman kelompok-kelompok progresif itu, supaya jangan mengancam kehidupan demokrasi di masa mendatang. Kelompok Islam progresif itu diposisikan sebagai objek yang butuh perlakuan, dan kita semua selain mereka adalah subjek yang mesti mengubah mereka, misalnya dengan jalan program-program deideologisasi.

Sangat jarang aksi-aksi kelompok semacam itu menghasilkan solusi yang merekomendasikan agar pihak yang berhadapan dengan mereka, dalam hal ini negara, mengoreksi perilaku dan tindakan sendiri sejauh ini yang diskriminatif, antara lain tidak menyediakan ruang untuk menyuarakan pendapat, atau selama ini selalu mencurigai mereka sebagai kelompok anti-pancasila, serta selalu mengandalkan tindakan represif militer dan aparat dalam membungkam kelompok itu.

Di sini saya akan mengajukan satu buku yang berjudul "Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita". Buku itu sesungguhnya merupakan transkrip orasi Buya Ahmad Syafii Maarif dalam acara Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML), serta tujuh tanggapan cendekiawan dari ragam profesi dalam bentuk esai, yang kemudian ditanggapi balik oleh Buya Maarif sebagai penutup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun