Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Seni Hidup Tanpa Beban; Dari Filsafat yang Dihidupkan Kembali

17 Januari 2023   08:38 Diperbarui: 17 Januari 2023   09:10 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Dokpri

Filosofi teras. Sejak kemunculan buku ini di tahun 2019, saya sebenarnya sudah berniat untuk membacanya. Waktu itu seorang kawan baru saja membeli buku itu. Saya mengintip isinya hanya sebentar, sudah pasti belum bisa dipinjam, orangnya saja belum baca. Saya pun belum membeli buku itu sebab entri bacaan saya ada beberapa yang masih menunggu giliran.

Akhir januari 2022, sewaktu menjadi salah satu pembicara di suatu kegiatan literasi di Kota Palu, seorang teman yang juga pembicara di kegiatan itu membisiki saya sambil telunjuknya menuding "Filosofi Teras" karya Henry Manampiring, yang ada di meja di  depan kami (sebagai pajangan). Katanya, itu buku bagus dibaca. Saya seketika jadi ingat. Oh iya, saya harus baca buku itu.

Bulan juni tahun ini (2022), barulah saya kesampaian membacanya, tak cukup dua pekan saya selesaikan di sela-sela kesibukan sebagai kepala keluarga, yang kesehariannya menghabiskan waktu lebih banyak dalam bekerja mencari nafkah. Benar saja kata teman saya itu, itu buku bagus dibaca! (Bagus di sini lebih saya artikan ke "menginspirasi" ketimbang "sempurna").

Bagusnya di mana? Pertama, buku itu diawali dari survei khawatir nasional yang dibuat oleh penulisnya sendiri di media sosial. Survei itu menurut penulisnya tidak menjamin kebenaran sesungguhnya yang terjadi di masyarakat. Melainkan hanya untuk mendapatkan suatu gambaran bagaimana filosofi teras akan dijelaskan sesuai kebutuhan.

Buku (seri) filsafat (populer) namun berangkat dari sebuah survei, berarti turut memelihara logika induktif. Artinya, kenyataan dijadikan sebagai basis untuk membangun suatu teori, minimal mementahkan stigma bahwa filsafat selalu bersifat deduktif, selalu berangkat dari sebuah konsep, sedang kenyataan adalah pembuktian kemudian.

Kedua, buku itu tidak mengabaikan pendapat ahli dari disiplin ilmu lain, apalagi ahli yang dimaksud adalah yang muda, berasal dari masa kini, bukan dari generasi orang tua--soalnya persepsi kita sering mengakui bahwa yang ahli hanyalah mereka yang sudah lama atau yang tua-tua, karena banyaknya pengalaman dan pengetahuan. Pada beberapa bab, diselipkan hasil wawancara bersama mereka. Misalnya saja di bagian pertama, wawancara dilakukan bersama dr. Andri, spesialis kesehatan jiwa. Itu dilakukan dalam rangka mencari akar masalah--secara kejiwaan--"kekhawatiran" sebagaimana hasil survei mandiri penulis.

Ketiga, antusiasme dalam membahasakan. Buku itu leluasa memakai kata yang baku dan tidak baku menurut sistematika penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun itu dilakukan tidak secara sembrono. Kata ganti aku-kamu suatu waktu menjadi loe-gue, utamanya pada sesi wawancara. Sedang penempatan kata-kata itu seolah sudah dipikirkan berlarut-larut.

Pemilihan kata-kata yang diusahakan mudah dipahami cukup membantu, bukan hanya dari segi hematnya penggunaan istilah-istilah ilmiah, tetapi juga kata-kata yang dikurung di dalam tanda ([]), juga tanda (--), demi memperjelas maksud penulis.

Keempat, karena mengupayakan bahasa yang mudah dipahami, buku itu berhasil mencerabut kesan angker di kepala pembaca sejak pertama kali mendengar judul. Biasanya, buku-buku filsafat selalu menyediakan titik-titik jenuh sejak dini. Beratnya pembahasan, serta permainan diksi, juga cara membahasakan menjadi faktor utama yang menyebabkan bosannya kita membaca buku-buku filsafat.

Kelima, pengupayaan kalimat juga rupa-rupanya yang membuat Henry Manampiring (penulis) menggunakan istilah "Filosofi Teras" sebagai judulnya. Filosofi teras tidak lain adalah filsafat Stoa (Stoicisme) yang bermula dari Zeno, lalu setelah itu lebih identik dengan Epictetus, Marcus Aurelius, dan Seneca. Para stoic menjalankan kelas filsafatnya di teras di bawah pilar-pilar batu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun