Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Laut dan Hal-hal yang Tampak Sederhana

4 Januari 2023   15:00 Diperbarui: 4 Januari 2023   15:02 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bersampan dan memancing di tengah lautan rupa-rupanya bukan hanya untuk mendapatkan ikan, lalu untuk dimakan ataupun dijual. Tetapi juga demi memperoleh ketenangan batin. Mengarungi samudera yang luas berarti juga menyelami kedalaman diri.


Saya bukanlah seorang nelayan, orangtua saya pun tidak. Bahkan sekadar memancing di akhir pekan bukanlah hobi saya. Tetapi semua tentang laut yang luas dan membiru pekat, tak berpagar dan tak bersertifikat itu tampak begitu nyata di benak saya kala membaca novel "Lelaki Tua dan Laut" (The Old Man and The Sea, 1952) karya Ernest Hemingway, penulis asal Amerika Serikat.

Dulu, kira-kira waktu masih kelas 4 SD, saya pernah ikut mendiang om saya--Muhaddin namanya--bersampan tak jauh dari pantai desa Kombo, kecamatan Dampal Selatan, Tolitoli. Kata om saya waktu itu, "Kita pergi batonda-tonda." Ya, dari kata dasar "tonda" yang ditaruh imbuhan bahasa lokal "ba" yang semakna dengan imbuhan "ber" dalam versi baku, yang berarti menarik. "Batonda mobil" berarti menarik mobil, tentu harus dengan mobil juga.

Batonda-tonda dalam urusan memancing adalah mengulur senar sampai sekian puluh depa ke dalam laut. Senar itu sendiri digelantungi hingga ratusan mata pancing yang dipasang berjarak, kemudian sampan terus didayung atau didorong menggunakan mesin "ketinti".

Ada kode etik dalam memancing, kata mendiang om saya itu, paling utama adalah jangan ribut, jangan nyampah, dan jangan melanggar pantangan, pamali! Ah, apa pula urusan pamali? Katanya, laut punya penunggu yang tak suka terhadap hal-hal tertentu. Tak yakin, tetapi ketika berada di atas laut yang gelap dan jauh dari tepian, rasanya semua itu bisa jadi mungkin.

Begitulah kira-kira ibarat kisah saya bersama mendiang om, awalnya cerita novel itu, percakapan antara Santiago si Lelaki tua, dan seorang anak muda bernama Molino. Dulunya mereka itu sering memancing bersama. Namun, karena kehendak orangtua Molino membuat keduanya terpaksa memancing dengan perahu yang berbeda. Molino ikut ke perahu yang beruntung, setiap hari mendapat ikan.

"Lelaki tua itu pasti salao, nahas, (hal. 5)" begitulah kira-kira kata orang tua Molino saat 40 hari tak membawa pulang seekor ikanpun, sehingga anak itu meninggalkan Santiago, atas perintah orangtuanya.

Sementara, Santiago harus memancing sendiri. Lelaki tua itu semakin dilanda kesialan. Genap 84 hari ia melaut tak juga mendapatkan ikan. Bagi yang hanya menjadikan memancing sekadar hobi atau refreshing akhir pekan, tak dapat ikan tentu bukan persoalan yang berarti. Lagi apes aja! Lain halnya bagi orang yang memang pekerjaannya sebagai nelayan, tinggal di perkampungan para nelayan pulak. Tentu bukan hanya problem penghasilan, melainkan harga diri juga ikut menyertai.

Santiago kemudian diperbincangkan, diolok-olok, namun orang-orang di sekelilingnya masih bersikap ramah dan hormat kepadanya. Agaknya, hal ini turut mengganggu. Tetapi lelaki tua itu bukannya berang, malah tekadnya semakin kuat untuk membuktikan bahwa ia adalah lelaki--walaupun sudah tua tetapi--penakluk ikan yang lebih besar dari yang pernah ditangkap nelayan sekitar, lebih panjang dari ikan yang bisa dipikul oleh dua orang lelaki dewasa dengan terhuyung-huyung, seperti yang dilihatnya sehari sebelum ia benar-benar bertarung di tengah samudera.

Lelaki tua itupun turun melaut seorang diri saat fajar. Ia tidak kembali selama tiga hari. Untuk kesekian kalinya tidak ditemani Molino. Kesialan harus ditebus. Caranya, tidak lain lelaki tua itu harus menarik layarnya sampai jauh ke tengah. Tiga hari mengapung dan bertarung di lautan tanpa teman bukan perkara gampang, Santiago harus berbicara dengan dirinya sendiri, kemudian kepada laut, kepada burung-burung, kepada ikan, ubur-ubur, awan, gunung, perahu, bahkan singa-singa putih di tepi pantai yang dilihatnya dalam mimpi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun