Mohon tunggu...
Hr. Hairil
Hr. Hairil Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Institut Tinta Manuru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Krisis Buku di Zaman Sekolah Kami Tahun 1990an (Seri I)

17 Mei 2021   14:31 Diperbarui: 17 Mei 2021   15:49 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya, ditanya tantang buku kesukaan, sekolah kami saat itu hanya ada buku ajar. Ada perpus sekolah pun buku-bukunya ya buku ajar yang tidak terjual. Karena buku ajar ditahun kami sekolah masih dibeli. Semuanya tidak gratis dong. Jadi ajakan kompasian mengisahkan hal ini sangat emosial bagi saya. Buku ajar yang ingin kami miliki saja harus dibayar, bagaimana kami bisa menyukai buku lain?

Perpus disekolah kami tahun 90an hanya deretan sejumlah buku ajar yang tidak laku dijual oleh entah guru atau pemerintah, karena tidak gratis intinya. Yang masih melekat dalam pikiran saya, buku ajar yang bisa saya miliki saat itu karena keterbatasan ekonomi, hanya dua edisi buku IPA dan temannya IPS. Saya lupa warnanya dan juga ketebalannya, itu pun didapat harus membayarnya dulu, sistemnnya ambil pakai nanti bayar belakangan. Jadi orang tua saya harus berjiwa raga membayar buku dan biaya pendidikan.

Buku lain yang paling saya ingat adalah PPKN sampul bukunya merah putih saya tidak ingat tahun berapa dan buku geografi. Bagi saya, IPA IPS saat masih SD tidak terlalu memberikan pengaruh yang besar sebagaimana selain IPA umum Geografi dan belajar tentang alam. IPS yang paling bisa diingat adalah pelajaran sejarahnya. Tapi setelah lulus sekolah ternyata sejarahnya juga ada yang direkayasa. PPKN tentang bagaimana menjadi manusia indonesia yang beragam, UU1945 dan bhineka tungga ika. Dua pelajaran SD ini yang paling saya favoritkan. Membaca hal tentang alam dan membaca beragam budaya.

Mengunjungi perpus sangatlah tidak mungkin, perpus hanya buka di jam istirahat mata pelajaran. Artinya kita hanya butuh kurang lebih 30 menit. Waktu 30 menit sekolah kami saat itu digunakan dengan pulang ke rumah, makan mandi dan balik lagi padahal sama saja, harus lari-larian dan keringat juga. Mengapa hal ini kami lakukan, karena rata-rata kami tidak mendapat uang jajan apalagi membawa bekal di sekolah. Yang ada di kenangan sekolah kami bukan buku mana yang kami suka, tapi hanya suka cita yang mengajarkan kami agar terbiasa ketika mengkhendaki cita-cita dengan keterbatasan fasilitas pendidikan

Dulu, kemauan belajar kami sangat besar, tapi fasiliatas seperti buku, dan yang lain terbatas. Kami tidak mengenal telephon apalagi yang genggam sekarang ini anak Usia dini pun sudah bisa memegangngnya. Tidak hadir sekolah karena sakit, harus menulis surat, yang tulis surat mestinya orang tua. tetapi lebih banyak yang saya tulis sendiri adalah alasan untuk bisa bolos

Saya sangat suka dengan pelajaran IPA dan IPS, setelah SMP dan SMA kedua pelajaran ini terpisah spesifikasi. Saya lebih menyukai geografi, sebenarnya bukan menyukai tetapi generasi indonesia timu sangat menggemari denga pelajaran ini. Jadi tidak heran sekarang ini generasi 1990an kalau di tanya indonesia bisa tahu 90% wilayahnya. Hal itu terbukti karena anak-anak bagian timur tahu semua kepualauan yang ada di indonesia. Beda dengan anak-anak sekolah di bagian barat indonesia, saya pikir mereka tidak belajar geografi, sehingga saat di perjalanan dan kenalan yang mereka tanya dan mereka tau bahwa indonesia timur itu ambon dan papua. ini menggambarkan bahwa individulalis generasi bagian barat sangat dominan dalam proses sekolah mereka.

[.......] Next Seri II

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun