Mohon tunggu...
Hr. Hairil
Hr. Hairil Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Institut Tinta Manuru

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ingin Pulang Pada Suasana Asri di Desa (Seri I)

8 Mei 2021   23:48 Diperbarui: 9 Mei 2021   09:17 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto ; Reddoorz.com

Ramadhan tahun ini sudah tiba dipenghujungnya, ribuan manusia berdesakan di jalanan sembil memohon untuk bisa sampai dirumah dengan selamat. Pemerintah resmi mengeluarkan imbauan larangan mudik, mata jalan di tutup rapat, pemudik mencaci, demonstrasi protes sudah pecah dimana-mana. Saya, ikut membaca berita dan realitas yang carut marut baru saja terjadi menjelang Lebaran Hari Raya Idul Fitri 2021, bagaimana bisa membatasi orang di hari yang berbahagia lebaran (Idul Fitri)?.

Kehidupan di kotayang bising, membuat orang merasa nyaman kalau berada di desa-desa karena keramaian tidak terjadi di sana. Perbedaan suasanalah yang mendorong setiap orang akan pulang di waktu dan moment yang dianggap sangat berarti. Bukan berarti di kota suasananya tidak seindah di desa, sebagaimana kita tahu bahwa di kota adalah tempat di mana orang-orang dari desa mencari pekerjaan demi nafkah hidup.

Kehidupan di desat itu statis, berbanding sebaliknya dengan kehidupan kota yang dinamis. Sudah jelas keributan, bisingnya kota, keramaian yang katanya menyenangkan orang-orang ternyata bukan merupakan kehidupan yang nyaman. Orang-orang tinggal di kota, batinnya tidak selalu tenang seperti di desa.

Perubahan dan perkembangan menjadi trend adalah kompleksitas permasalahan bagi individu di kota. Hal ini disebabkan oleh asumsi "di kota kehidupan akan terlihat lebih baik di banding ketika masih di desa". Padahal, kualitas hidup orang, masing-masing kita tidak di tentukan dari faktor di mana kita tinggal. Di desa atau di kota, kualitas hidup tetap terjamin hanya prosesnya yang berbeda.

Ada lagi asumsi pindah ke kota biar kualitas hidupnya diperbaiki, tetapi kebisingan dan trend di kota menjadi masalah yang komplit tak bisa dihindari. Siapa bilang di kota lebih nyaman, nyatanya di kota hanya di penuhi dengan kesibukan semata tanpa memikirkan diri. Uang, kerja, uang, kerja, hiburan, macet, bising, polusi dan komplit sudah kualitas hidup di kota pada kenyataannya hancur secara psikologi dan membatin ingin cepat pulang ke desa.

Itulah mengapa momentum liburan nasional, liburan hari besar agama dan libur-libur yang lain, orang-orang di kota selalu ingin pulang. Apapun larangannya, pulang adalah keharusan. Sekarang ini, kita bisa lihat sendiri bahwa pandemi dan prokes membatasi orang-orang jangan mudik lebaran dulu, tetapi orang-orang ingin pulang dan melanggar semua aturan yang sudah di buat.

Saya pikir, pelanggaran mudik lebaran ini jumlahnya puluhan ribuan, kalau denda 100 juta per pelanggar yang memaksa mudik ke desa berarti negara tidak perlu pakai pajak. Hasil dari denda pelanggar aturan mudik sudah bisa bayar hutang negara. Ah, pikiran saya selalu begitu.

Kita lanjut dengan ihwal mudik, di kota keseimbangan hidup tidak dapat kita temukan. Semua orang menjalankan aktivitas sudah seperti jasad berjalan tetapi pikirannya mati. Hal ini disebabkan kemampuan berkompetisi di kota tidak mampu dibarengi dengan kesibukannya. Semua orang mengalami hal yang sama, alih-alih perbaiki hidup harus tinggal di kota nyatanya menderita secara bathin.

Lebaran sebentar lagi, semua orang sudah mudik. Ada yang tertahan di jalanan, di jalan tol, di pelabuhan, di bandara dll. Saya juga sangat ingin seperti mereka, mudik, pulang kampung, pulang di desa, rasa yang sama seperti mereka yang berdesakan di jalan karena merasa bahwa di desa bisa memperbaiki suasana hati meskipun itu hanya hitungan hari. Setelah itu, kembali lagi ke kota untuk melakukan aktivitas seperti orang yang sedang ata benar-benar gila.

Waktu saya masih di desa berapaa puluh tahun lalu, orang-orang di desa, di kampung selalu bilang kalau di kota itu semua terjamin, padahal sama saja. Bedanya hanya pekerjaan otot yang tidak dilakukan di kota, tidak lagi menggarap sawah, membersihkan kebun, menyeberang sungai, dll dll

Bukankah suasana seperti ini yang dirindukan setelah orang-orang pindah ke kota, ya buktinya sekarang jalan raya dan pelabuhan di penuhi orang-orang. Artinya, di desa lebih menjamin luka di hati akan sembuh secara total dengan suasana yang asri.

Hal inilah yang membedakan suasana hidup di kota dan di desa, orang buru-buru pulang karena pikiran mereka sedang kacau kalau tidak bertemu dengan suasana di desa. Kenyamanan, ketenangan, sehat, pikiran positif ketika bangun dari tidur hanya dengar suara burung dari alam bebas. Bukan di kota, suasanya monoton bising, kesehatan tidak terjamin ulah polusi.  

Saya tidak sedang membedakan kota dengan desa, realitas kini yang membuktikan kalau desa adalah tempat pulang yang tepat untuk istrahatkan pikiran dari semua kegilaan di kota. Tinggal di kota bukan hal buruk, tetapi suasana desa yang asri menjamin ketenangan hati setiap orang yang pulang.

Banyak hal yang membedakan suasana di desa dan di kota, dan hal itu saya rasakan sendiri. Banyak orang merasakan hal yang sama, hanya saja merahasiakan agar mereka terlihat seperti baik-baik saja. Mengakui, saya mengakui desa adalah tempat istirahatkan hati, pikiran dan jiwa yang paling tepat. 

Di desa tidak semahal di kota, tidak sesusah di kota, di desa lebih bebas dengan suasana yang sehat, lingkungan yang damai di antara kolega dan keluarga. Saya bisa menjamin kalau pulang di desa dapat memperbaiki bagian psikis kamu yang terbengkalai, yang sudah rusak gegara kesibukan di kota. [.....]

Next Seri II

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun