Mohon tunggu...
Hr. Hairil
Hr. Hairil Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Institut Tinta Manuru

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ego Sektoral Mengorbankan Kaum Kecil

29 November 2017   04:34 Diperbarui: 29 November 2017   05:51 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[...] Mengapa besar selalu menang. Bebas berbuat sewenang-wenang. Mengapa kecil selalu tersingkir. Harus mengalah dan menyingkir. Apa bedanya besar dan kecil?  [...]

Indonesia. Tidak ada habis-habisnya publik di Negara ini membicarakan ihwal dari Negaranya, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Ketiga hal tersebutlah membuat focus publik kepada pejabat-pejabat negara sebagai pejabat publik yang di berikan amanat untuk dijalankan. 

Aku tidak mengerti soal kesehatan, tetapi dari ketiga hal diatas yang sering dibicarakan publik sehingga hal tersebut menjadi semacam penyakit (Virus) yang dapat merusak sendiri hidup dan kehidupan Negara besar ini. Satu diantaranya menjadi focus publik adalah "Korupsi".

Demikian publik memandang Korupsi dilakukan oleh benerapa pejabat dinegara ini sebagai virus, mengganggu kehidupan secara universal. Virus tersebut, jika tidak ditangani, tidak di tanggulangi, akan berdampak lebih serius terhadap kerugian dan keutuhan negara. 

Pengaruhnya mewabah ditengah kehidupan sosial, sehingga dibanyak tempat, didaerah-daerah dari negara ini menjadi korban wabah virus (Korupsi) yang tidak dapat di hindari. 

Kita lihat kenyataanya, ruang-ruang hidup, hak hidup, hak milik kaum kecil dilahap oleh mereka yang prestasi dan pristiwanya lebih besar dari pada keberadaan virus (Korupsi) itu sendiri. 

Dibanyak daerah, pelaku korupsi sudah mewabah mencaplok seluruh hak milik kaum kecil, menutup ruang-ruang hidup yang sebenarnya adalah jalan hidup kaum kecil. 

Padahal tingkat kedasaran kaum kecil disa dibilang masih jauh daripada tingkat kesadaran elit atau para pejabat pelaku korupsi. Tetapi dengan berprestasi sebagai Koruptor maka prestasi tersebut dengan sendirinya menggerus moral dan etika para pejabat publik. 

Sepenggal lirik lagu diatas mengantar kita pada pertanyaan. Mengapa harus dan selalu kaum kecil yang kena imbasnya dari kelakuan dan perbuatan pejabat yang korup? 

Korupsi di negara ini, meskipun hampir setiap hari pelakunya terlibat OTT oleh KPK. Hal ini sedikitpun tidak pernah membuat mereka jera. Demikian, haruskah (hukum mati) harus berlaku untuk mereka para pelaku korupsi yang merugikan negara? 

Bukan hanya negara ini yang menggung akibat dari tindakan "Korupsi" merugiakan negara yang mereka lalukan. Korupsi dan wabahnya dapat berpengarus dalam kesuburan kesejahteraan rakyat kecil di negara ini. 

Mengukitp KOMPAS.com - tentang kasus "sandal jepit" memecahkan focus publik pada hukum yang berlaku untuk rakyat kecil. Selalu saja diremehkan karena di mata hukum, rakyat kecil selalu lemah. Dalam mempertahankan hak yang layak dibela pun, orang kecil masih saja selalu kalah. 

Kasus Sandal Jepit ini merupakan kenyataan miris hukum negara kita, kenyataan bahwa masyarakat kecil jika harus berurusan dengan hukum negera ini, mereka tidak akan bisa menyaingi kelompok elit. 

Sayang, negara ini. Hukum dan aparat penegak hukum ternyata disusupi orang yang ingin menang sendiri, untung sendiri dan mengabaikan perkara etika maupun moral rakyat. 

Kalau dalam logika keuntungan, kiranya kita dapat menganalogikan aparat penegak hukum negara ini lebih dekat, membela, apapun caranya terhadap orang elit akan selalu menjadi pemenang dalam perkara hukum. Sebalik dari itu, sisi keuntungan pastinya menjadi target. Lah, orang kecil yang dianggap melarat, miskin tak bermodal menjadi korban dari proses yang berlangsung. 

Masih ada lagi kasus hukum yang menyeret kaum kecil dalam ketidakmapuan membela diri dan akhirnya menanggung vonis yang diberikan, tak berdaya, tanpa daya dan tak ada yang mampu sama sekali membela diri dari.

Kasus di banyumas kita ambil sebagai contoh kedua. Kita semua masih ingatkan kasus Nenek Aminah mendapat vonis 1,5 tahun hanya karena 3 buah kakao pada 2009 silam. 

Dari kasus Nenek Aminah ini, sengaja aku feedback kembali perjalanan sebagai anak petani cokelat di wilayah timur indonesia. Tahun 2000-2010 silam. Harga 1 buah kakao di daerah aku dihargai 4.000-5000, itu harga/buah didaerah aku. Didaerah lain belum tentu sama. 

Kalau harga kakao yang kita pakai seperti berlaku di daerah aku saat itu, untuk 3 buah kakao harganya kurang lebih Rp. 15.000. Pada kasus Nenek Aminah diatas jika di bandingkan dengan vonis 1,5 tahun penjara dengan Rp. 15.000 harga kakao adalah hal mustahil. 

Artinya, kerugian negara dengan kasus ini hanyalah Rp. 15.000. Itu pun kalau perkebunan kakao adalah milik negara. Sehinga logika dan prinsip hukum negara ini menjadi kerap menudutkan kaum kecil yang tidak berdaya. Lalu,  bagaimana dengan kasus pejabat negara yang korupsi dan merugikan negara dengan miliran rupiah? 

Di sulawesi tengah, pernah dengar viralnya kasus sandal jepit? Kasus AAL (15) tahun berurusan sampai ke proses hukum. 5 tahun terancam hukuman penjara. Meskipun lebih ringan dari kasus nenek diatas. Tapi substansinya bukan perkara jumlah. Ini perkara keadilan hukum di negara ini yang menjadi miris bila kita telaah beberapa kasus yang sama dialami oleh kaum kecil. 

Kedua kasus diatas menjadi bandingan kita dengan kasus korupsi para pejabat publik di negara ini. Kerugian negara sampai miliran rupiah malah mendapat perlindungan hukum. Terakhir kasus e-ktp masih menjadi buah bibir publik. Meski kasus ini sudah dalam tahapan proses oleh KPK. 

Negara ini, hukumnya lagi sakit. Pejabat-pejabat publik yang notabenenya pelaku kerugian rakyat masih berkeliaran seperti masia pada biasanya. Inilah fakta yang menjadi poin pertama sebagai rakyat kecil Menjadikan contoh bahwa negara dan hukum di negara ini sering menyalahkan orang kecil yang tidak berdaya. 

Beberapa dari pelaku korupsi kelas kakap, mangkir dari panggilan hukum. Lari dan berlindung ke negara tetangga, sakit-lah ini lah itu lah,  dab banyak lagi alasan jika mereka di panggil berhadapan dengan hukum. 

Kalau hal ini terjadi pada rakyat kecil, luar biasa sibuknya negara ini sangat sibukkan diri, keamanan diarahkan secepat mungkin agar keadilan berbicara meski itu pada akhirnya semua tanggungan proses sebagai vonis terakhir akan di terima pelaku dari rakyat kecil. 

Data Indonesian Corruption Watch (ICW), mengutip KOMPAS.OM- menunjukan koruptor rata-rata hanya dihukum di bawah dua tahun. Pada 2010, sebanyak 269 kasus atau 60,68 persen hanya dijatuhi hukuman antara 1 dan 2 tahun. Sedangkan, 87 kasus divonis 3-5 tahun, 13 kasus atau 2,94 persen divonis 6-10 tahun. Adapun yang dihukum lebih dari 10 tahun hanya dua kasus atau 0,45 persen.

Hal ini dia akui Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqqodas bahwa " Hukuman untuk koruptor memang rendah. Pengadilan, seakan-akan tak mencerminkan ideologi hukum yang baik, 'Putusan hakim kehilangan roh untuk berpihak pada kepentingan rakyat'.

Dari pernyataan diatas setidaknya memberikan kita pengetahuan dan hal ihlwal yang masih sering dilakukan oleh pejabat pelaksana hukum di negara ini. Roh hukum sebagai perlindungan rakyat telah hilang. 

Pernyataan pada hal proses hukum yang sering kita temui seperti kasus diatas pun disampaikan oleh Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana bahwa " Kini hukum hanya tajam jika kebawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas. Pemerintah, seharusnya peka terhadap rasa ketidakadilan yang terus dialami rakyat".

Kedua pernyataan diatas adalah bentuk prihatin terhadap putusan hakim terhadap rakyat kecil yang lemah. Hal demikian berarti keadilan hukum menjadi tidak lagi memiliki ruh perlindungan untuk rakyat yang benar-benar dan harus mendapat perlindungan hukum. Jadi, benarkah keadilan restoratif berlaku untuk kasus-kasus seperti kedua kasus diatas? 

Sedikit mendefinisikan Keadilan restoratif adalah konsep pemidanaan yang mengedepankan pemulihan kerugian yang dialami korban dan pelaku, dibanding menjatuhkan hukuman penjara bagi pelaku. 

Artinya hal ini dimaksudkan agar penyelesaian kasus-kasus kecil tak perlu sampai ke pengadilan, tetapi diselesaikan cukup dengan mediasi. Peradilan anak telah digagas pemerintah belandaskan azas ini. Azas inilah memperkuat perlindungan terhadap kasus-rakyat kecil. Lalu, kita kaitkan dengan kasus dan penyelesaian kasus hukum seperti pada kasus diatas, apakah konsep hukum restoratif masih berlaku? Jawabannya "Tidak"

Mengutip di sampaikan Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menyarankan agar aparat penegak hukum menggunakan restorative justice (keadilan restoratif) sebagai penyelesaian alternatif dalam sejumlah kasus kecil seperti yang menimpa AAL maupun Nenek Minah seperti yang dilansir Kompas.com.

Hal yang sama terkait Hukum restoratif ini pun di perjuangkan Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, dirinya turut memperjuangkan penerapan keadilan restoratif mengaku kecewa dengan para penegak hukum yang tidak menggunakan konsep tersebut. 

Setidaknya, pernyataan diatas terkait hukum restorasi pada setiap kasus hukum rakyat kecil mendapatkan perhatian negara. Sehingga nilai-nilai perlindungan hukum untuk rakyat kecil masih menjadi harapan bahwa rakyat kecil tidak selalu dibiarkan menerima vonis sebagai hadiah ketidakberdayaan tanpa perlindungan. 

Jangan sampai kenyataan wajah hukum sekarang ini, meminjam kata Patrialis: semua penegak hukum mulai lagi kembali ke ego sektoral masing-masing.

Ironi, hukum negara ini masih saja perlakukan rakyat kecil sebagai korban. Tidak lagi menjunjung nilai-nilai keadilan yang sebenarnya. Bisa disimpulkan bahwa ternyata sejauh ini, rakyat kecil masih saja di diskriminasikan oleh hukum negeranya sendiri. 

Hukum selalu tajam kebawan dan tumpul keatas, seperti pada kenyataan yang kita lihat sekarang. Kedua kasus diatas adalah contoh kuatnya ego sektoral yang dipraktikkan dalam hukum dinegara ini. 

Dari sekian banyak kasus terjadi baru-baru ini, maka kiranya penegak hukum harus pertegas sanksi hukum pada pelaku. Asalkan tidak dengan ego sektoral penegak hukum diikut sertakan dalam proses penyelesaian hukum. 

Sebagai rakyat kecil, hanya bisa bicara perkara hukum sesuai dengan kenyataan dan pengetahuan terbatas. Setidaknya bisa melihat ketidakadilan yang berlaku. Ada prinsip pada intinya adalah realisasi atau penegak hukum harus benar-benar kembali pada keadilan sesungguhnya 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun