Mohon tunggu...
Muhammad Saddam Haikal
Muhammad Saddam Haikal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ

Hanya manusia biasa yang membiasakan diri untuk terbiasa belajar, mengajar, dan diajarkan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengatur Ekspektasi dan Kekecewaan

10 April 2022   14:42 Diperbarui: 10 April 2022   15:08 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emosi (Foto: Ann H dari Pexels)

Sebagai seorang manusia biasa, kita pasti tentu sering berekspektasi tentang sesuatu yang kita inginkan untuk didapatkan, dirasakan, atau dimiliki. Apakah ini wajar? Ya. Ini adalah naluri manusia untuk terus berkembang menuju ke arah yang dianggap baik agar memperoleh kualitas hidup yang meningkat pula. 

Akan tetapi, terkadang kira rapuh dengan ekspektasi atau harapan yang kita buat sendiri. Hal ini bermula ketika kita menjadikan ekspektasi sebagai sebuah tujuan atau hasil akhir. Saat hal itu terjadi, kita menjadi seorang pembunuh untuk diri kita sendiri. Memang terdengar ekstrem, tapi begitulah kenyataannya. Kita menjadi pembunuh untuk diri sendiri karena telah menggantungkan hidup kita pada ekspektasi. Semakin kita bergantung padanya, maka semakin dalam rasa sakit yang kita tusukkan ke dalam dada.

Kalau begitu, apakah itu artinya kita harus hidup tanpa ekspektasi atau harapan? Bukankah hidup ini bermakna hanya ketika kita memiliki harapan? Tanpa harapan, bukankah hidup ini menjadi hampa dan tidak memiliki tujuan? Baik, kita akan jawaban pertanyaan ini satu demi satu. 

Menurut paham Stoikisme, sebuah peristiwa atau barang tidak memiliki nilai apa-apa atau netral sehingga tidak memiliki pengaruh terhadap kebahagiaan kita (indifferent). Dari pernyataan tersebut, kita seharusnya mengerti bahwa segala hal di dunia ini pada dasarnya hanya hiasan atau aksesoris saja. Lantas, apa yang membuat kita begitu menginginkan/menghindari suatu peristiwa atau barang? Jawabannya adalah representasi. 

Pandangan atau representasi kita terhadap peristiwa atau barang itulah yang membuat kita menginginkan atau menghindari sesuatu. Pandangan dan persepsi ini terbentuk dari nilai-nilai yang kita yakini, khususnya nilai dan norma sosial. Kita akan coba gambarkan pernyataan ini dengan sebuah contoh. 

Coba kamu bayangkan, apa yang ada di pikiranmu ketika mendengar frasa "mobil baru"? Tentu sebagian besar dari kita akan "menempelkan" hal-hal positif terhadap frasa "mobil baru" itu. Nilai positif yang kita bentuk untuk frasa tersebut sepenuhnya persepsi dan opini kita. Padahal jika kita telaah lebih jauh, "mobil baru" bersifat netral, yaitu sebatas mobil yang belum pernah digunakan dan biasanya masih terbalut plastik pembungkus pada kursinya. Selesai, hanya sampai di situ. Tapi, karena kita memiliki nilai-nilai yang kita yakini tentang "mobil baru", kita memasangkan persepsi positif terhadap mobil baru sebagai suatu kebanggaan, kesuksesan, kemewahan, dan sebagainya. Berkat nilai positif yang kita lekatkan tersebut, kita kemudian berpotensi "menginginkan" mobil baru dan menganggapnya sebagai suatu yang positif: jika saya punya mobil baru, maka orang lain akan menyanjung saya". Kasus seperti ini juga terjadi pada peristiwa-peristiwa lainnya yang kita anggap sebagai sesuatu yang positif seperti prestasi, jabatan, kekayaan, dan kecantikan.

Sekarang, kita coba bergeser sejenak. Apa yang kita bayangkan tentang "kebangkrutan"? Tentu yang ada di pikiran kita adalah kegagalan, kemiskinan, kesengsaraan, dan segala macam kata-kata buruk lainnya. Mengapa kita menganggap kebangkrutan sebagai suatu yang buruk? Betul sekali, karena persepsi yang kita berikan kepada kebangkrutan itu sendiri. 

Jika kita lihat secara objektif, kebangkrutan adalah keadaan di mana segala sesuatu yang kita usahakan mengalami defisit pendapatan atau keuntungan sehingga membuat usaha tersebut gulung tikar karena merugi. Ingat, cukup sampai di situ. Jadi, kebangkrutan pada dasarnya tidak menimbulkan rasa sakit apa pun pada diri kita. Sebaliknya, yang membuat kita merasa sakit adalah pandangan kita terhadap kebangkrutan sehingga kita merasa kesal, marah, kecewa, dan pahit karena menganggap kebangkrutan sebagai kegagalan yang tidak bisa diperbaiki atau bahkan akhir dari dunia ini. 

Merespons fenomena tersebut, para filsuf Stoik berpandangan bahwa hal-hal buruk yang terjadi dalam hidup sebenarnya tidak memberikan efek yang sesakit itu. Justru, rasa sakit yang kita rasakan merupakan hasil rekaan dari persepsi kita terhadap suatu peristiwa. Rumus sederhananya adalah: Fakta + Opini = Respons (FOR).

Dari rumus di atas, para filsuf stoik mengambarkan fakta sebagai sesuatu yang netral dan tidak memiliki sifat baik atau buruk. Baik buruknya sebuah fakta justru ditentukan dari bagaimana kita memandang fakta tersebut melalui opini kita. Berkat adanya percampuran dari fakta dan opini, maka muncullah sebuah respons yang bisa dinyatakan melalui pikiran maupun tindakan. Mari kita lihat sebuah fakta dari rumus di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun