Mohon tunggu...
Sadam Syarif
Sadam Syarif Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis jalanan

Suka ngopi

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Enam Tahun Jokowinomics Gagal Meroket, Berlari, dan Melompat?

22 Oktober 2020   06:17 Diperbarui: 22 Oktober 2020   07:26 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
redaksiindonesia.com

Masih dalam suasana panasnya demonstrasi penolakan (R)UU omnibus Law Cipta kerja yang fenomenal, enam tahun kepemimpinan presiden Jokowi atas Republik ini justru me-legacy-kan revolusi sosial-ekonomi-Politik yang tak pernah diperkirakan sebelumnya. 

Jokowi yang memvisualisasikan personalitinya dengan kesan "ndeso" dan "lugu" di masa-masa kampanye pilpres, justru lebih merupakan pecinta "Komik" yang imajiner dan determinan, jika tidak bisa disebut revolusioner. Serial pengembaraan politik Jokowi yang mulus tanpa cacat sejak menjadi walikota solo dua periode, kemudian berhasil menaklukan Ibukota Jakarta lewat sebuah aksi masuk gorong-gorong mampet yang atraktif, style blusukan politiknya sukses memperdaya pemilih yang sedang jemu dengan gaya kepemimpinan kaku dan elitis ala SBY dalam satu dekade sebelumnya.

Enam tahun berlalu, kendali Jokowi atas negeri zamrud khatulistiwa ini harus tersendat dan terjebak dalam "Thucydides trap" oleh "intrik" geo-ekonomi dan geopolitik" yang tercitra melalui perang dagang dua kekuatan ekonomi dunia, dan pandemik Covid-19 yang berujung pada resesi ekonomi. Akumulasi energi politik yang super-presidential Jokowi, tak berarti mampu membuatnya mengembalikan kelesuan ekonomi yang tertatih sejak periode pertamanya. 

Belum sempat mewujudkan Mimpi meroketkan ekonomi nasional melalui 16 jurus paket kebijakan ekonomi dalam kabinet kerja I, ekonomi RI justru beranjak menurun melewati zona merah pada tahun terakhir periode pertama Jokowi hingga memasuki periode keduanya. Trend kejatuhan ekonomi yang sudah banyak diprediksikan oleh pengamat ekonomi ini, benar-benar terbukti setelah diperparah oleh gelombang lumpur pandemik Covid-19 yang melumpuhkan ruang gerak ekonomi nasional. 

Meskipun tanpa bencana Covid-19, energi ekonomi RI sudah diperkirakan oleh beberapa lembaga riset akan terkuras signifikan akibat ketidakefektifan strategi pembangunan ekonomi. Tanpa pandemik, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) misalnya, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2020 turun ke angka 4.8% dibanding capaian ekonomi nasional 2019 yang mandek di posisi 5.10%. Meskipun statistik mencatat pertumbuhan industri manufaktur besar dan sedang naik tipis 4.1%. 

Dan menurut BKPM, realisasi investasi pada 2019 sebesar Rp 809,6 triliun. Angka ini melampaui target yang sebesar Rp 792 triliun. Adapun penyerapan tenaga kerja dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) pada 2019 hanya mencapai 1,03 juta orang, yakni PMDN sebesar 520,17 ribu orang dan PMA 513,66 ribu orang. 

Akibatnya, daya beli masyarakat yang merupakan Kekuatan utama perekonomian Indonesia. Pada kuartal III-2019 menurun, konsumsi rumah tangga hanya menyumbang 56,52% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Hawa Warburton dari Universitas Nasional Australia  memuji, Rencana pembangunan Jokowi ini bermaksud baik, tetapi dihambat oleh kurangnya perencanaan dan kepekaan terhadap keluhan publik.

Konsep pengembangan khasnya, "Indonesiasentris" patut diapresiasi dalam hal mempromosikan pembangunan yang merata di seluruh negeri dan khususnya di Indonesia timur. Namun, perencanaan strategis dalam konsep ini sangat kurang. Pemerintah telah mengejar berbagai proyek skala besar---seperti infrastruktur Trans-Jawa, Trans-Papua, dan Trans-Sumatra---sekaligus, tanpa menentukan target atau prioritas yang realistis berdasarkan kapasitas keuangan negara, tanpa merancang skema pendanaan yang layak khususnya melibatkan sektor swasta, dan tanpa mempertimbangkan tingkat pengembalian internal keuangan masing-masing proyek.

Selain itu, penurunan konsumsi juga terlihat dari setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penerimaan PPN menggambarkan seberapa besar transaksi di perekonomian. Ketika PPN turun, artinya aktivitas jual-beli lesu. Data Januari-Agustus 2019, penerimaan PPN dalam negeri tercatat Rp 167,63 trilun. Turun 6,47% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. 

Dampak langsungnya adalah pemerintah Gagal mencapai target tax ratio tahun 2019, yang realisasinya hanya sebesar 10,73%. Padahal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019, pemerintah mematok target tax ratio sebesar 12,2%. Selain gagal mencapai target, angka tax ratio ini juga lebih rendah atau turun dibandingkan tahun 2018 yang tercatat sebesar 11,4%.

Posisi Utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir triwulan II 2020 tercatat sebesar 408,6 miliar dolar AS, terdiri dari ULN sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) sebesar 199,3 miliar dolar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 209,3 miliar dolar AS. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun