Mohon tunggu...
Sadam Syarif
Sadam Syarif Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis jalanan

Suka ngopi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Umbi Ondo, Ujian Kemandirian Fiskal dan Ketahanan Pangan Kabupaten Nagekeo

7 Agustus 2020   22:11 Diperbarui: 8 Agustus 2020   10:41 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai putra daerah, penulis sangat terkejut dengan pemberitaan salah satu media mainstream nasional yang mengabarkan tentang upaya survival masyarakat di salah satu daerah di NTT. Naluri bertahan hidup merupakan ikhtiar biologis manusia yang normal, namun jika manusia modern masih harus terpaksa mengkonsumsi umbi-umbian beracun akibat ketiadaan stok pangan apalagi biaya hidup, rasanya akan sangat menyakitkan hati siapapun yang mendengarnya. Bahkan sekalipun tengah terjadi krisis pandemik yang membatasi mobilitas sosial dan ekonomi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Adalah sejumlah warga Desa Woedoa, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang terpaksa memakan ubi hutan beracun tersebut. Diwartakan oleh Kompas.com, Sekitar satu bulan terakhir, warga desa itu memakan omdo, sejenis ubi hutan. Ubi itu dicari di hutan pada siang hari. "Mau beli beras, uang tidak ada, terpaksa warga cari dan makan ubi hutan untuk bisa bertahan hidup," keluh salah satu warga saat dihubungi Kompas.com, Rabu (6/5/2020).

Kasus yang tidak begitu populer ini tentu tidak berarti bagi sebagian masyarakat atau bahkan pemerintah sebagai penyelenggara negara dan atau daerah terkait. Mengingat pola konsumsi masyarakat seperti ini merupakan hal yang dianggap biasa, ketika terjadi masa paceklik. Namun untuk daerah yang kepala daerahnya adalah seorang yang berlatar profesi sebagai dokter, peristiwa menyedihkan ini bisa dianggap naif, jika tidak bisa disebut sebagai wujud dari "kegagalan" seorang pemimpin eksekutif di suatu daerah otonom. Karena Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa sebagai seorang Dokter, Bapak Bupati Nagekeo tentu memiliki standart konsumsi bahan pangan yang lebih detail, baik tentang gizi dan sehat tidaknya bahan makanan,  apalagi soal keamanan bahan pangan itu sendiri. Namun yang terjadi di Kabupaten Nagekeo, adalah citra kenestapaan rakyat kecil yang sesungguhnya tidak perlu terjadi di era post modern yang serba mudah oleh ilmu pengetahuan dan tekhnologi pangan.

Merujuk pada undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 2 ayat 3 menyebutkan bahwa tujuan otonomi daerah ialah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang memang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.  Demikianlah hakikat tujuan dibentuknya suatu daerah otonomi yang oleh sebagian sosiolog disebut sebagai peristiwa perubahan sosial besar yang direncanakan. Pengalaman serupa tapi tidak sama di Amerika Serikat pada masa Bill Clinton melahirkan prinsip-prinsip Gore's Commision tentang pembaharuan pelayanan publik. Hal yang perlu dicatat disini bahwa prinsip-prinsip tersebut mengunggulkan pelayanan prima, antara lain: keramah tamahan pada pelanggan (masyarakat), kemitraan dengan publik dan swasta, penggunaan hasil secara terukur, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dan perlunya perencanaan strategis (Osborn et al., 1999). Semua itu dikaitkan dengan pertimbangan orientasi usaha bisnis, misi awal untuk pengembangan sumberdaya local

Terekspose nya kasus umbi ondo yang menyedihkan di atas, menjadi salah satu potret buram penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Variabel kesejahteraan yang demikian senjang, menjadi kesimpulan rumit bagi kepala daerah untuk ditemukan solusinya segera. Dan kasus kelaparan di Daerah Nagekeo merupakan buah dari kegagalan Pemda setempat dalam memanfaatkan APBD dan memitigasi fenomena krisis pangan di tengah pandemik. Jika daerah dengan APBD 0,83 triliun Rupiah ini, diaudit secara garis besar, maka akan ditemukan rendahnya capaian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Nagekeo yang hanya tercatat hanya mencapai 326 ribu rupiah/bulan pada 2019. Indikator penyebab landainya angka PDRB pun sangat mudah dideteksi. Pertama akibat lemahnya serapan APBD yang sangat lambat dan tidak efektif. Bisa dibayangkan, jika hingga Agustus 2019, Pemda Nagekeo baru hanya menyerap sebanyak 34%, dan itupun hanya digunakan untuk belanja modal dan gaji pegawai. Artinya pemda dan DPRD Nagekeo tidak memiliki political will dalam mengalokasikan APBD pada sektor rill yang lebih produktif dan berkelanjutan.

Indikator kedua, masih tingginya angka pengangguran yang melampaui angka pengangguran nasional. Data BPS menampilkan angka Tingkat partisipasi angakatan kerja Nagekeo dalam angka yang sementara baru mencapai 67,14%. Artinya masih terdapat 32,8 % angkatan kerja Nagekeo yang belum terserap dalam dunia kerja. 

Oleh karenanya, Pertumbuhan dan produktivitas industri turut menjadi sektor yang patut untuk dikoreksi. Meskipun Sektor pertanian masih menjadi sektor rill yang paling banyak menyerap tenaga kerja dan menjadi penyumbang terbesar PDRB bagi Nagekeo, namun masa depan dan struktur pembangunan pertanian belum cukup diandalkan untuk menjadi penopang perekonomian regional Nagekeo. Akibat kurangnya atensi dan komitmen intensifikasi pertanian di daerah berpenduduk 165 ribu jiwa tersebut. 

Kasus Umbi Ondo di awal merupakan bukti nyata rapuhnya ketahananan pangan juga pola distribusi bahan pangan di salah satu Kabupaten dengan kategori termiskin di Indonesia ini. 

Akibatnya adalah Daya beli masyarakat yang melorot tajam, menjadi indikator terakhir yang mendeskripsikan struktur dan pertumbuhan ekonomi (PDRB) Nagekeo sepanjang 2019. Maka tak heran jika daerah yang secara resmi dibentuk pada tahun 2007 silam ini terlihat stanting dan sangat lambat proses pembangunannya. 

Meski harus diakui bahwa, situasi sosial politik turut menentukan jalannya proses pembangunan, namun pengaruhnya tidak begitu signifikan. Kasus kelaparan di Kabupaten Nagekeo merupakan satu dari sekian banyak kasus ketidakefektifan pengelolaan keuangan dan potensi daerah di banyak daerah otonom di Indonesia.

Membangun basis-basis produksi secara terintegrasi sesuai dengan kekayaan sumber daya lokal menjadi ikhtiar meraup PAD yang tepat. Selain itu, Mendesain lanskap kawasan ekonomi bebasiskan kemitraan dan kolaborasi dengan pihak swasta juga menjadi cara yang jitu untuk terbentuknya lapangan pekerjaan yang cukup bagi angkatan kerja di daerah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun