Mohon tunggu...
Sadam Syarif
Sadam Syarif Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis jalanan

Suka ngopi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Arogansi Omnibus Law, Ekspresi Kepanikan Rezim Jokowi

19 Februari 2020   07:56 Diperbarui: 19 Februari 2020   07:55 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Yang penting, yang ingin saya memperingatkan kepada saudara ialah bahwa, apabila konsepsi saudara akan disuruh terima oleh partai-partai dan masyarakat dengan jalan teror dan intimidasi, hasilnya akan jauh berlainan daripada yang saudara maksud"(kutipan isi Surat Hatta untuk Presiden Soekarno).

Perlahan tapi pasti, bocoran isi draf RUU Omnibus law yang sejak awal ditutup-tutupi pemerintah, kini mulai dibuka secara resmi ke publik. RUU yang digadang-gadang merupakan senjata pemungkas pertumbuhan ekonomi Rezim Joko Widodo menjadi diskursus publik paling banyak dibicarakan, dan juga merupakan opini sensasional yang menghebohkan publik hari-hari ini. 

Desakan kolektif publik dengan dukungan pers memaksa para menteri terkait silih berganti berusaha meyakinkan publik dengan harapan-harapan manis jurus sapu jagad ekonomi itu. Rancangan Undang-undang yang oleh Presiden Jokowi akan menjadikan ekonomi nasional berlari kencang ini kini telah tiba di meja pimpinan DPR. Di sanalah harapan dan ketakutan publik akan dikonfigurasi secara politik oleh para wakil rakyat.

Sebagai kepala pemerintahan yang memimpin sebuah negara berkembang untuk periode yang kedua kalinya, presiden Jokowi jelas terlihat panik dengan capaian ekonomi nasional yang cukup terpaut jauh dari target dan janji-janji kampanyenya enam tahun silam. 

Meskipun jurus demi jurus kebijakan ekonomi di periode pertama rezim Jokowi sudah cukup banyak dikeluarkan, Dan Setidaknya 16 paket kebijakan ekonomi di periode lalu merupakan paket komplit yang ditengarai akan meroketkan ekonomi nasional. 

Namun variable-variabel pendekatan  ekonomi nasional periode lalu justru menuai statistik ekonomi yang mengecewakan di awal tahun ini. Dengan ekspresi kepanikan yang sangat, upaya modifikasi hukum dan perundang-undangan terpaksa ditempuh dan dicoba dengan harapan mampu menarik lebih banyak investasi dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

Akibatnya, kesan arogansi kekuasaan yang diekspresikan lewat RUU sapu jagat ini tidak mampu ditutupi dari wajah pemerintah. Bak bangkai yang dibungkus rapat2, pada akhirnya tercium juga. Demikian bau busuk omnibus law yang mulai menuai banyak koreksi, kritik hingga penolakan dari banyak pihak hari ini. Arogansi hukum yang seolah mengembalikan bangsa ini ke era demokrasi terpimpin enam dekade silam. 

Dengan dalih meningkatkan akselerasi pertumbuhan ekonomi, rezim kabinet Indonesia Maju ini justru mendesain lanskap mazhab ekonomi yang justru menganggap faktor sosiologis, demokrasi dan kebebasan pers sebagai penyumbat dan pengganggu laju investasi yang harus dibatasi hingga diintimidasi secara hukum.  Solusi demi solusi yang serba keliru dan salah kaprah ini tentu bukan hal baru bagi rezim pragmatis yang gemar berutang dan doyan mengimpor ini.

Dalam bocoran draf RUU Omni bus law terbaru yang dikutip dari Tempo.com, pemerintah melalui Pasal 87 Omnibus Law RUU Cipta Kerja mengatur perubahan terhadap dua pasal di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja terdapat dua pasal UU Pers yang diubah, yakni Pasal 11 dan Pasal 18. Pasal 11 di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 berbunyi, "Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal". 

Adapun perubahannya di RUU Omnibus Law Cipta Kerja berbunyi, "Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. 

Perihal pasal ini, pers sesungguhnya tengah ditakut takuti dengan pola intervensi rezim secara fundamental melalui sumber modal yang terkontrol dan dibatasi. Pada akhirnya pers yang oleh UU Pers diberikan kebebasan dan bersifat independen pasca reformasi justru dokooptasi independensinya dan dikekang secara finansial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun