Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ramadhan 2015 : Berpacu Memenangkan Syurga

15 Mei 2015   06:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:02 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ramadhan sudah di ambang pintu, insya Allah pada tahun 2015 ini segenap umat Islam akan mengawali shaum wajib Ramadhan pada pertengahan Juni mendatang. Lantas pernahkah terpikir bahwa selain sekedar memenuhi kewajiban sebagai seorang mukmin, ibadah puasa Ramadhan ternyata juga diarahkan Allah Swt agar manusia memperoleh peta untuk mencapai kualifikasi kandidat penghuni surga ?

Mungkin klise, tapi sampai kapan pun keberhasilan memasuki surga yang dijanjikanNya adalah parameter kesuksesan yang hakiki. Bukankah sepanjang hidup kita senantiasa dirasuki keingin-tahuan yang penuh hasrat tentang Zat Maha Pencipta? Surgalah satu-satunya tempat yang memungkinkan kita bertemu langsung denganNya.

Ada tiga tingkatan orang yang menjalankan puasa (TM Hasbi Ash-Shiddieqy, 2000), yakni pertama, golongan yang meninggalkan kebutuhan fa’ali (makan, minum, hubungan seks) pada waktu puasa. Kedua, golongan yang meninggalkan kebutuhan fa’ali karena Allah seraya berharap akan pengampunan dosa dan surga serta terhindar dari azab neraka. Ketiga, mereka yang meninggalkan kebutuhan fa’ali bahkan menahan hati mereka dari mengingat segala hal kecuali Allah semata dan satu-satunya yang diharapkan adalah ridhaNya.

Kebutuhan fa’ali merupakan gerbang bagi munculnya kebutuhan-kebutuhan lain hingga dengan mengendalikan kebutuhan fa’ali, akan terkendali pula syahwat diri dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang menduduki urutan prioritas sesudahnya. Kemampuan mengendalikan diri inilah yang kemudian menjadi modal meraih tujuan tertinggi dalam pelaksanaan ibadah puasa, yaitu membentuk diri sesuai peta yang telah dianugerahkanNya dengan jalan meneladani sifat-sifat Rabb.

Upaya meneladani sifat-sifat Rabb hendaknya diawali dengan mengkaji secara mendalam makna dari Asmaul Husna yang merupakan representasi sifat-sifatNya yang Maha Indah. Metode pengkajian yang terbaik adalah dengan mempelajari keterangan-keterangan yang langsung diberikanNya seputar Asmaul Husna dalam Al-Qur’an maupun penjelasan Rasul Saw melalui sunnah dan hadis yang shahih. Pengenalan sifat-sifat Allah yang hanya mengandalkan penalaran maupun pengalamanan rohaniah semata tidak akan bisa memberikan gambaran yang utuh.

Al-Ghazali mengemukakan bahwa suatu jiwa yang penuh dengan pengagungan terhadap Rabb Yang Maha Indah dan Maha Agung pastilah akan senantiasa merindukan Keindahan dan Keagungan itu disertai timbulnya dorongan untuk menghiasi diri dengan sifat-sifatNya semaksimal batas kemampuan manusiawinya. Namun hal tersebut tidak akan tercapai bila kita tidak memiliki cukup ilmu dan iman terhadap sifat-sifatNya Yang Maha Indah. Begitu pula bila hati sudah luber dipenuhi hasrat untuk memenuhi kebutuhan fa’ali, maka lenyaplah kerinduan akan sesuatu yang lebih mulia.

Pada saat berpuasa kita dipaksa untuk mengendalikan syahwat akan kebutuhan fa’ali dan berjuang dengan segala daya agar kita memberikan pemenuhan pada kebutuhan al-takamul al-ruhani alias proses penyempurnaan spiritual.

Jika di bulan-bulan lain segala jerih payah secara frontal dikerahkan untuk memenuhi kebutuhan makan-minum-seks, maka setidaknya dalam sebulan Ramadhan ini berikan keleluasaan bagi dimensi spiritual dalam diri untuk memuaskan lapar-dahaganya. Lepaskan keterikatan pada jasmani yang begitu dominan, biarkan keterikatan pada rohani berkembang menjadi cukup kuat hingga kita memiliki energi untuk secara berkesinambungan belajar meneladani sifat-sifatNya.

Tujuan puncak ibadah puasa adalah mampu meneladani Rabb hingga mencapai tingkat takwa yang sesungguhnya. Bagaimana ciri-ciri orang yang telah mencapai tingkatan tersebut? Al-Hasan Al-Bashri menggambarkannya sebagai berikut :

Anda akan menjumpai orang tersebut teguh dalam keyakinan tapi bijaksana, tekun dalam mencari ilmu, semakin berilmu semakin merendah, semakin berkuasa semakin bijaksana, tampak wibawanya di depan umum, jelas syukurnya di kala beruntung, menonjol kemampuannya dalam mensyukuri berapapun rezeki yang ia terima, senantiasa berhias walau miskin, selalu cermat, tidak boros walau kaya, murah hati dan gampang membantu, tidak menghina, tidak mengejek, tidak menghabiskan waktu dalam permainan, dan tidak berjalan membawa fitnah, disiplin dalam tugasnya, tinggi dedikasinya, serta terpelihara identitasnya, tidak menuntut yang bukan haknya dan tidak memakan hak orang lain. Kalau ditegur ia menyesal, kalau bersalah ia istighfar, bila dimaki ia tersenyum sambil berkata,”Jika makian Anda benar, maka aku bermohon semoga Tuhan mengampuniku. Dan jika makian Anda keliru, maka aku bermohon semoga Tuhan mengampunimu.”

Masya Allah, semoga kiranya Rabb berkenan membawa segenap ikhtiar kita pada hal yang sedemikian. Aamiin Yaa Rabbal Aalamiin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun