Dari dulu sampai sekarang, mungkin juga di masa depan kelak, perempuan selalu berhadapan dengan stereotipe 'cantik, awet muda, dan menarik' sebelum akhirnya masuk ke ranah profesional dan mendapat tambahan kualifikasi 'kompeten, menyenangkan, dan bisa dipercaya'.
Saat seseorang memandang wajah perempuan untuk waktu yang agak lama, maka yang tertinggal sesudahnya adalah efek dari daya tarik dan kompetensi perempuan yang bersangkutan (Etcoff, 2011). Faktanya orang cenderung memandang perempuan yang menggunakan tata rias relatif glamor lebih menarik, menyenangkan, dan layak mendapat kepercayaan dibanding perempuan yang membiarkan wajahnya polos.
Pola tersebut di atas, menurut Glen Geher PhD sebagaimana dirilis dalam Psychology Today (16/12), menunjukkan bahwa kosmetik mempengaruhi persepsi jangka menengah maupun jangka panjang terkait bukan hanya daya tarik perempuan namun juga sifat-sifat psikologis di dalam diri mereka, termasuk kompetensi. Ekspektasi sosial semacam inilah yang mempengaruhi lahirnya kebutuhan mendesak akan tata rias agar terlihat lebih muda dan lebih subur secara reproduktif (fertil). Fenomena tersebut telah mendorong para perempuan muda, terutama yang baru mulai menata karir, untuk menggunakan kosmetik.
Hasrat tampil lebih menarik dengan bantuan kosmetik telah menghidupkan industri senilai triliunan rupiah di berbagai belahan dunia. Namun dalam kehidupan nyata, para perempuan dipaksa membayar lebih dari sekedar harga jual kosmetik yang dibelinya.
Sementara perempuan secara tidak sadar berusaha tampil fertil, menarik, dan sehat dengan bantuan produk kosmetik; bahan-bahan yang terkandung dalam produk tersebut justru bisa menimbulkan hal yang berlawanan dari harapan. Atau, tepatnya, produk-produk kecantikan modern kemungkinan tidak membuat kesehatan pemakainya menjadi lebih baik, malah sebaliknya bisa memicu berbagai resiko kesehatan.
Peraturan yang lemah seputar keharusan perusahaan untuk transparan terkait bahan-bahan baku kosmetiknya ditambah minimnya pengetahuan para konsumen tentang bahan-bahan yang berbahaya bagi tubuh mereka telah membuat perempuan enteng saja mengolesi tubuh dengan berbagai produk kosmetik berbahaya setiap hari.
Pasti takkan ada satupun perempuan yang mau memoles bibirnya dengan produk lipgloss yang kemasannya berterakan pemberitahuan dalam huruf besar 'Mengandung diethylhexyl phthalate yang berbahaya bagi sistem reproduksi, bisa mempengaruhi perkembangan janin, dan diklasifikasikan sebagai karsinogen (bahan pemicu kanker) oleh International Agency for Research on Cancer'.Padahal bahan tersebut di atas hanya salah satu zat di bawah regulasi yang bisa ditemukan dalam berbagai produk kosmetik dan dicantumkan dengan nama 'pewangi'alias  fragrance (Faber, 2019).
Tentu saja industri kosmetik seharusnya bertanggungjawab atas pemakaian bahan-bahan yang berpotensi merusak konsumennya akibat pemakaian jangka panjang, namun dibutuhkan banyak sumber daya dan stamina untuk menuntut hal tersebut dari mereka saat kerusakan terlanjur parah.Â
Alternatif yang paling aman adalah kenali secara obyektif kondisi tubuh, pergunakan kosmetik seminimal mungkin, dan pertahankan gaya hidup sehat sesuai kebutuhan secara disiplin. Ingat juga bahwa hati yang baik dan otak yang cerdas akan membuat perempuan tetap bersinar tak peduli berapa dekade kehidupan yang sudah dilaluinya.