Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Depresi Ayah Paska Ibu Melahirkan

24 Oktober 2019   18:18 Diperbarui: 24 Oktober 2019   18:31 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelahiran buah hati yang tak disikapi dengan benar bisa menjadi tekanan mental tersendiri bagi Sang Ayah (doc.Hamilton Spectator/ed.Wahyuni)

Ada banyak harapan yang disematkan ke bahu seorang ayah baru tentang bagaimana seharusnya bertindak mengemong istri dan anak bayi yang baru lahir, namun bengong dan tidak bersemangat tidak termasuk di dalamnya.

Sebuah penelitian per September 2019, sebagaimana dilansir The Washington Post, menemukan bahwa 1 dari 7 ayah di Amerika Serikat (AS)  menderita gangguan mood selama periode perinatal (waktu sebelum dan setelah kelahiran), dan rasionya meningkat jadi 1 dari 4 ayah dalam tiga hingga enam bulan pasca persalinan.

Jika seperempat dari pria Amerika menderita penyakit mental terkait kelahiran anak mereka, maka jadi tanda tanya besar kenapa masalah itu seakan luput dari pantauan.

"Karena ada stigma seputar kesehatan mental secara umum yang menjadi lebih berat bila terkait penyakit mental yang berhubungan dengan memiliki bayi."Papar Wendy Davis, direktur eksekutif Postpartum Support International.

Saat lingkungan sosial memberi tahu bahwa kita harus menerima kelahiran anak-anak dengan penuh sukacita dan syukur, sambung Wendy, maka keraguan atau depresi yang terkait dengan menjadi orang tua dipandang sebagai 'kegagalan pribadi'.

Will Courtenay, seorang psikoterapis, pakar masalah kesehatan pria dan pendiri PostpartumMen, sependapat dengan Wendy,"Ada mitos yang sangat kuat di masyarakat kita bahwa pria tidak mengalami depresi."

Will juga mengatakan bahwa norma-norma budaya yang mengakar di masyarakat bahwa pria harus 'kuat secara emosional' menjelaskan mengapa bahkan dokter kesehatan mental yang terlatih sekalipun cenderung kurang peka dalam mendiagnosis kecemasan atau depresi pada pria dibandingkan pada wanita.

Alasan lain penyakit mental ayah kurang terdiagnosis adalah munculnya gejala yang berbeda dari wanita. Ayah yang depresi, menurut Will, mungkin bertindak lebih frustrasi, jengkel, dan marah. Sinyal lainnya berupa menarik diri secara emosional, bekerja terus-menerus, mengeluh sakit tanpa sebab, atau peningkatan perilaku beresiko tinggi seperti minum, narkoba, berjudi atau seks di luar nikah. Para profesional dan anggota keluarga cenderung meremehkan gejala-gejala itu dengan menganggapnya sebagai bagian normal dari transisi menjadi orang tua.

Seperti halnya wanita, perubahan hormon dapat memainkan peran besar dalam suasana hati ayah. Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa kadar hormon pria berfluktuasi ketika pasangan mereka menantikan bayi, yang merupakan proses persiapan alami para ayah untuk mengasuh anak-anak mereka.

Secara umum, ketika pasangannya hamil, kadar testosteron pria turun dan dia menghasilkan kadar estrogen, kortisol, bahkan prolaktin yang lebih tinggi (prolaktin adalah hormon yang memberi tahu tubuh untuk membuat ASI).

Tetapi jika perubahan hormon pria terlalu besar atau terlalu sedikit, maka sang ayah akan stres, agresif atau depresi. Efek perubahan hormon dapat diperparah dengan kurang tidur begitu bayi lahir dan hal itu diketahui akan menimbulkan efek berbahaya pada pikiran dan sistem saraf.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun