Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Horornya Kabut Asap Indonesia di Mata Jurnalis Asing

1 Oktober 2019   06:22 Diperbarui: 1 Oktober 2019   07:12 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aisyah Llewellyn (insert) melakukan tiga hari peliputan kabut asap di Jambi (doc. Al Jazeera/ed.Wahyuni)

"Lima tahun sebagai jurnalis, saya telah melihat begitu banyak tragedi."Tulis Aisyah Llewellyn untuk Al Jazeera per 30 September 2019,"Saya pernah melaporkan langsung dari lokasi tsunami yang mematikan tahun 2018, berada di dalam kamar mayat yang penuh dengan mayat hangus; di depan gunung berapi yang meletus; di tengah-tengah kamp pengungsi. Setiap situasi ini menghadirkan kengerian tersendiri, namun tidak ada satu pun di antaranya yang membuat saya cukup siap untuk menghadapi kabut mematikan di Indonesia."

Aisyah yang dikirim ke Jambi untuk meliput kabut asap dampak pembakaran hutan-lahan (karhutla) bisa merasakan langsung bagaimana rasanya hidup berselimutkan udara yang sangat berbahaya.

Karhutla besar-besaran yang rutin terjadi sejak 1990 ini, menurut Aisyah, merupakan efek samping penggunaan metode pembakaran untuk membuka lahan baru yang akan ditanami lalu api mengganas tak terkendali. 

Asap tebal akibat karhutla tahun ini yang berlangsung sejak Juli 2019 lalu telah menyelimuti wilayah-wilayah Indonesia dan merubah warna langit, awalnya jingga lalu menjadi merah darah.

Istilah 'asap'untuk gas yang dihasilkan dari karhutla dinilai Aisyah 'terlalu manis' karena kabut asap itu merupakan campuran tar, abu, pestisida, dan karbon monoksida yang melingkupi segala sesuatu. Dia bahkan sudah disapa kabut asap sebelum mendarat di Jambi bagian dari pulau Sumatera, salah satu area yang paling buruk terkena pengaruh asap di Indonesia. Saat pesawat menurun, kabin dipenuhi bau asap yang sangat tajam. Visibilitas nyaris nol. Namun itu menyiapkan Aisya akan apa yang akan dihadapi selanjutnya.

Aisyah berada di Jambi, di titik yang merupakan terparah, dan sering harus melakukan wawancara tanpa menggunakan masker standar polusi N95 karena sulit bercakap-cakap dengan masker mencengkram hidung dan mulut. Akibatnya jurnalis perempuan berdedikasi itu merasa sangat tidak sehat.

Dada berat dan sesak seakan seseorang duduk di atasnya, tenggorokan kering terceking seolah baru menelan setumpuk ranting. Dia mulai muntah dan tersedak asap, matanya gatal-gatal dan pedih. Akhirnya muncul pula ruam di tubuh. Semua gejala yang sangat tidak nyaman itu tak membuat Aisyah lupa kan tugas utamanya. Dia sadar, belum cukup data lapangan terkumpul tentang bagaimana pengaruh kabut asap bagi para penduduk yang tak punya pilihan selain bertahan di kawasan mereka tinggal selama ini.

Setiap tahun kabut asap karhutla selalu meninggalkan korban jiwa yang meliputi orang lanjut usia, anak-anak muda, atau mereka yang punya penyakit saluran pernapasan seperti asma. Namun karena sulit membuktikan kaitan langsung kematian dengan kabut asap atau karena gejala-gejala gangguan kesehatan baru muncul beberapa tahun kemudian, kita mungkin akan kesulitan mengetahui berapa jiwa yang telah direnggut oleh kabut asap tersebut.

Pada hari pertama penugasannyaAisyah harus bertahan dengan masker hijau yang diberikan klinik kesehatan setempat, masker curah itu sebenarnya bisa dibilang tidak memberikan perlindungan apapun. Dia juga mencatat komunitas lokal yang berada di sana sangat kekurangan hampir semua perlengkapan medis dasar.

Akhirnya pada hari kedua, Aisyah mendapatkan masker N95 dari lembaga lingkungan hidup, WALHI Jambi, yang juga memfasilitasi perjalanannya dan tim ke titik api terburuk. WALHI juga membagikan 90 buah N95 bagi penduduk setempat sepanjang perjalanan. Dia tidak melihat kehadiran personil polisi, tentara, atau anggota mitigasi bencana sepanjang dua jam perjalanan dari kota Jambi ke Desa Catur Rahayu.

 Akses yang sulit untuk memperoleh masker dan tangki oksigen menyebabkan gangguan fisik sudah terlalu parah untuk ditanggulangi. Lalu  ada masalah kedua yang hanya sedikit mendapat perhatian, yaitu efek psikologis akibat berada dalam kabut asap beracun secara permanen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun