Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Posisi Ratu Inggris di Tengah Chaos Brexit

2 September 2019   06:30 Diperbarui: 2 September 2019   07:13 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ratu Elizabeth II dan PM Boris Johnson dalam sebuah acara kenegaraan (doc.CNN/ed.Wahyuni)

Para pendukung kebijakan Brexit (Inggris keluar dari Uni Eropa) PM Boris Johnson belakangan ini mulai vokal menyuarakan ketidak-puasan mereka pada Ratu Elizabeth II yang dinilai ambigu dalam menyikapi hal itu. Padahal kebijakan politik monarki punya jalurnya sendiri.

Rabu pagi (25/8) lalu Jacob Ress-Mogg, ketua Privvy Council (lembaga penasehat pemerintahan), rela menggunakan fasilitas penerbangan komuter untuk mencapai Aberdeen. Tujuannya adalah dataran tinggi Skotlandia tempat kediaman musim semi Ratu Victoria di Balmoral berada.

Misi Jacob dan kawan-kawan adalah untuk memberikan nasehat pada cicit Victoria, Ratu Elizabeth II, untuk melalukan prorogasi (mengakhiri sesi kerja parlementer, -pen.) parlemen menyusul kian dekatnya waktu bagi Inggris untuk keluar dari Uni Eropa yang dijadwalkan akan terealisir pada 31 Oktober 2019 mendatang (Foreign Policy, 30 Agustus 2019).

Kekuasaan untuk melakukan prorogasi parlemen ada dalam genggaman monarki yang melakukannya berdasarkan nasehat atau arahan dari perdana menteri. Jajaran monarki diharapkan bertindak sesuai arahan yang diberikan. 

Perpaduan kekuasaan perdana menteri dengan jajaran prerogatif formal monarki sebagai kepala negara merupakan sebuah rahasia yang dipahami bersama sebagai bagian dari undang-undang tak tertulis Inggris

Bila hal tersebut dikombinasikan dengan mayoritas solid di parlemen, disiplin partai yang kuat, dan kepemimpinan politik yang bertanggungjawab, maka akan terbentuk mekanisme kekuasaan yang sangat tangguh.

Tentu saja ratu bisa menolak arahan-arahan Boris, namun itu akan memperparah krisis konstitusional dan mengundang kemarahan para pendukung Brexit. 

Hubungan ratu dengan para perdana menteri tidak selalu baik-baik saja, namun dia tidak pernah secara terbuka menentang mereka. Pada situasi-kondisi normal, saat rezim pemerintah punya dukungan suara mayoritas yang solid di parlemen, maka nasehat-arahan yang diberikan perdana menteri pasti akan dilaksanakan tanpa banyak pertimbangan.

Namun kondisinya berbeda di tahun 2019 ini. Bila pihak monarki mengikuti begitu saja, maka seperti membungkukkan badan pada para petualang yang berkantor di Downing Street di bawah pimpinan seorang perdana menteri yang menduduki jabatannya bukan berdasarkan pemungutan suara, yang tidak punya dukungan suara mayoritas dan memanfaatkan prorogasi untuk memuluskan jalannya menggolkan Brexit tanpa kesepakatan (no deal Brexit) yang jelas-jelas telah ditolak oleh parlemen. Tentu saja hal terakhir ini dibantah oleh Boris.

Sementara itu kegigihan Jacob Ress-Mogg berbuah manis setelah Ratu Elizabeth II menyatakan menyetujui permintaan Boris untuk melakukan prorogasi, atau membekukan sementara kerja, parlemen. Tindakan tersebut diambil ratu di tengah meningkatnya kontroversi tentang perlu-tidaknya keterlibatan monarki di tengah pusaran politik nasional.

Prorogasi telah memotong masa kerja parlemen selama lima minggu, cukup ampuh menumpulkan upaya para pembuat undang-undang untuk mencegah terjadinya no-deal Brexit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun