'Nak, bagaimana, ya?'
'Ada apa, Ayah?'
'Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat di dalam mimpi, aku menyembelihmu, maka bagaimana pendapatmu ?'
'Benarkah itu, Ayah?'
'Benar'
'Wahai ayahku kerjakanlah yang diperintahkan Tuhanmu. In sya Allah engkau mendapatiku sebagai orang yang sabar'
Â
Dialog yang akan tercatat rapi sampai ke akhir peradaban manusia di atas terjadi antara seorang ayah yang sudah lanjut usia dengan putranya, kala itu masih merupakan anak tunggal, yang berada dalam tahapan usia gulam mencapai usia sa'ya, yaitu usia dimana seorang anak sudah mampu bekerja, sekitar 7 tahun ke atas.
Sang Ayah bergelar  Abul Anbiya (Bapak Para Nabi) dan berbeda dengan manusia pada umumnya, mimpi para nabi merupakan wahyu yang harus ditaati. Termasuk mengorbankan buah hati belahan jiwa yang ditakdirkan lahir setelah usianya menginjak 86 tahun pun dijalani tanpa keraguan.
Ayah dan anak sepakat membulatkan tekad untuk menjalankan titah Rabb Azza wa Jalla. Beriringan mereka berjalan menuju ke sebuah kaki gunung di kawasan yang kini bernama Mina. Pelajaran berikutnya sudah menanti.Â
Bahwa 'sabar' itu mengandung unsur istiqamah alias terus berproses sampai akhir, meski bermunculan godaan atau hambatan yang membujuk-paksa untuk berbelok arah.
Seperti saat mereka bertemu seseorang di tengah jalan yang begitu persisten meminta mereka mengurungkan niat. Berulang-kali dijelaskan bahwa penyembelihan itu adalah bentuk ketaatan keduanya pada Rabb. Sebanyak itu pula orang tersebut, dengan berusaha menyentuh naluri kebapakan Sang Ayah, mendesak mereka untuk berbalik arah.
Yakinlah mereka bahwa dia adalah tiwikrama Azaazil yang dikutuk karena kesombongannya membangkang pada Sang Khalik saat diperintahkan bersujud pada Abul Basyar (Bapak Umat Manusia). Dia yang telah bersumpah untuk menyesatkan umat manusia sampai akhir jaman kelak.
Maka tanpa ragu bapak dan anak itupun melempari manusia jadi-jadian tersebut dengan batu sampai mati. Lalu mereka pun kembali melanjutkan perjalanan.Â
Azaazil Yang Terkutuk tentu saja tidak gampang menyerah. Setelah dua kali lagi malih rupa di dua lokasi untuk menghadang dan berakhir dengan nasib yang sama, barulah dia kapok.
Sesampainya di tujuan, anak kecil itupun berbaring di atas sebuah batu besar dengan wajah tertutup atau tertelungkup agar dia maupun Sang Ayah takkan terlemahkan dalam menjalankan ketaatan pada Rabb oleh kasih sayang yang terpancar saat mereka saling menata.Â
Dia membiarkan lehernya terbuka untuk memudahkan dan Abul Anbiya pun seusai mengucap salam perpisahan serta berdoa, segera bersiap untuk menyembelih.
Namun Ar Rahim, Sang Maha Penyayang, menganugerahkan akhir yang indah membahagiakan, yang menjadi latar lahirnya Idul Adha.
Bagaimana bocah umur 7 tahun bisa sesabar dan sepasrah itu ?
Ada dua faktor utama, merujuk pada Tuti Alawiyah dalam skripsinya yang berjudul 'Idealita Keluarga Ibrahim AS dalam Perspektif Tafsir Fii Zhilalil Qur'an' , yang membuat keluarga Abul Anbiya begitu yakin bahwa titah Sang Khalik betapapun musykilnya pasti ditujukan untuk membangun manfaat dan maslahat. Â
Pertama, adanya ketenangan jiwa yang dilandasi oleh ketakwaan pada Allah Subhanahu wa ta'ala yang ditandai dengan keberadaan 'tauhid' (meng-Esa-kan Rabb, penjabarannya ada pada QS Al-Ikhlas, -pen). Keluarga Abul Anbiya senantiasa tabah menghadapi ujian apapun karena keberadaan 'tauhid' selalu terpelihara dalam kehidupan mereka.
Kedua, adanya hubungan harmonis antar individu dalam lingkup keluarga maupun masyarakat. 'Tauhid' adalah benih unggulan untuk melahirkan keikhlasan dalam menyikapi segala sesuatu yang berlangsung dalam kehidupan, termasuk dalam urusan internal rumah tangga maupun urusan yang melibatkan masyarakat luas.Â
Harmoni yang sejati bukanlah sesuatu yang statis. Ada perjuangan mengelola diri yang luar biasa di sana agar mampu bahagia lalu mensyukurinya.
Itulah mengapa istri pertama Abul Anbiya ikhlas menikahkan lagi suaminya dengan perempuan mulia yang kelak melahirkan si bocah penyabar, demikian pula ibunda anak tersebut yang ikhlas ditinggalkan suaminya di daerah tandus nyaris tanpa kehidupan bersama si bocah yang masih menyusui, dan, dengan media pertumbuhan karakter yang begitu dahsyat, urusan mentaati wahyu Rabb untuk disembelih bukanlah sesuatu yang bisa membuat anak kecil itu shock.Â
Itulah rahasia kesabaran si bocah yang dinamai Ismail saat lahir dan  menyandang julukan Sadiqul Wa'di (Manusia yang Selalu Menepati Janji) saat mengemban amanah kerasulannya.
Referensi
QS Ash Shaffat ayat 99-111