Seperti saat mereka bertemu seseorang di tengah jalan yang begitu persisten meminta mereka mengurungkan niat. Berulang-kali dijelaskan bahwa penyembelihan itu adalah bentuk ketaatan keduanya pada Rabb. Sebanyak itu pula orang tersebut, dengan berusaha menyentuh naluri kebapakan Sang Ayah, mendesak mereka untuk berbalik arah.
Yakinlah mereka bahwa dia adalah tiwikrama Azaazil yang dikutuk karena kesombongannya membangkang pada Sang Khalik saat diperintahkan bersujud pada Abul Basyar (Bapak Umat Manusia). Dia yang telah bersumpah untuk menyesatkan umat manusia sampai akhir jaman kelak.
Maka tanpa ragu bapak dan anak itupun melempari manusia jadi-jadian tersebut dengan batu sampai mati. Lalu mereka pun kembali melanjutkan perjalanan.Â
Azaazil Yang Terkutuk tentu saja tidak gampang menyerah. Setelah dua kali lagi malih rupa di dua lokasi untuk menghadang dan berakhir dengan nasib yang sama, barulah dia kapok.
Sesampainya di tujuan, anak kecil itupun berbaring di atas sebuah batu besar dengan wajah tertutup atau tertelungkup agar dia maupun Sang Ayah takkan terlemahkan dalam menjalankan ketaatan pada Rabb oleh kasih sayang yang terpancar saat mereka saling menata.Â
Dia membiarkan lehernya terbuka untuk memudahkan dan Abul Anbiya pun seusai mengucap salam perpisahan serta berdoa, segera bersiap untuk menyembelih.
Namun Ar Rahim, Sang Maha Penyayang, menganugerahkan akhir yang indah membahagiakan, yang menjadi latar lahirnya Idul Adha.
Bagaimana bocah umur 7 tahun bisa sesabar dan sepasrah itu ?
Ada dua faktor utama, merujuk pada Tuti Alawiyah dalam skripsinya yang berjudul 'Idealita Keluarga Ibrahim AS dalam Perspektif Tafsir Fii Zhilalil Qur'an' , yang membuat keluarga Abul Anbiya begitu yakin bahwa titah Sang Khalik betapapun musykilnya pasti ditujukan untuk membangun manfaat dan maslahat. Â
Pertama, adanya ketenangan jiwa yang dilandasi oleh ketakwaan pada Allah Subhanahu wa ta'ala yang ditandai dengan keberadaan 'tauhid' (meng-Esa-kan Rabb, penjabarannya ada pada QS Al-Ikhlas, -pen). Keluarga Abul Anbiya senantiasa tabah menghadapi ujian apapun karena keberadaan 'tauhid' selalu terpelihara dalam kehidupan mereka.
Kedua, adanya hubungan harmonis antar individu dalam lingkup keluarga maupun masyarakat. 'Tauhid' adalah benih unggulan untuk melahirkan keikhlasan dalam menyikapi segala sesuatu yang berlangsung dalam kehidupan, termasuk dalam urusan internal rumah tangga maupun urusan yang melibatkan masyarakat luas.Â