'Nak, bagaimana, ya?'
'Ada apa, Ayah?'
'Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat di dalam mimpi, aku menyembelihmu, maka bagaimana pendapatmu ?'
'Benarkah itu, Ayah?'
'Benar'
'Wahai ayahku kerjakanlah yang diperintahkan Tuhanmu. In sya Allah engkau mendapatiku sebagai orang yang sabar'
Â
Dialog yang akan tercatat rapi sampai ke akhir peradaban manusia di atas terjadi antara seorang ayah yang sudah lanjut usia dengan putranya, kala itu masih merupakan anak tunggal, yang berada dalam tahapan usia gulam mencapai usia sa'ya, yaitu usia dimana seorang anak sudah mampu bekerja, sekitar 7 tahun ke atas.
Sang Ayah bergelar  Abul Anbiya (Bapak Para Nabi) dan berbeda dengan manusia pada umumnya, mimpi para nabi merupakan wahyu yang harus ditaati. Termasuk mengorbankan buah hati belahan jiwa yang ditakdirkan lahir setelah usianya menginjak 86 tahun pun dijalani tanpa keraguan.
Ayah dan anak sepakat membulatkan tekad untuk menjalankan titah Rabb Azza wa Jalla. Beriringan mereka berjalan menuju ke sebuah kaki gunung di kawasan yang kini bernama Mina. Pelajaran berikutnya sudah menanti.Â
Bahwa 'sabar' itu mengandung unsur istiqamah alias terus berproses sampai akhir, meski bermunculan godaan atau hambatan yang membujuk-paksa untuk berbelok arah.